Minggu, 16 Agustus 2009

Terorisme dalam "Reality Show"


Drama penyergapan tersangka teroris di Temanggung, Jawa Tengah, begitu nyata di televisi. Emosi pemirsa pun teraduk-aduk dibuatnya. Inilah reality show sesungguhnya.


Menyaksikan liputan penyergapan liputan itu di Metro TV dan tvOne, seperti sedang menonton film perang. Ada adegan mengepung, menembak, dan ”mengebom” rumah persembunyian tersangka teroris.

Reporter tvOne di lapangan membuat suasana tampak kian mencekam dan genting. Ia menceritakan pergerakan polisi antiteror, memberi tahu penonton adanya suara orang mengerang kesakitan dari dalam rumah persembunyian itu.

Ia juga menceritakan bagaimana deg-degannya berada beberapa puluh meter dari lokasi penyergapan. Kadang cerita itu disampaikan sambil mengendap-endap dengan suara nyaris berbisik.

Liputan penyergapan itu berlangsung nyaris 18 jam mulai 7 Agustus malam hingga puncaknya 8 Agustus sekitar pukul 10.00-11.00. Selama itu, potongan adegan paling dramatis diulang-ulang. Kadang, televisi memberikan suara latar (artifisial) yang mengesankan suasana tegang atau heroik.

Suasana mencekam di Temanggung pun menjalar ke rumah pemirsa. Itulah kekuatan televisi. Sebuah peristiwa menjadi sangat dramatik karena hadir secara audiovisual. Kekuatan itu berlipat ganda karena teknologi satelit mampu menghadirkan semua peristiwa secara real time.

Jika peristiwa nyata masih kurang dramatis, pembuat berita bisa membuatnya lebih dramatis dengan mengulang-ulang gambar, menambah suara artifisial, atau grafis. Liputan peristiwa di sini dikemas seperti reality show.

Inilah yang dilakukan hampir semua pengelola televisi. Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga Amerika Serikat. Bonnie M Anderson, jurnalis veteran, dalam buku News Flash (2004) mencatat, jaringan televisi seperti CNN dan NBC sejak awal tahun 2000 mendramatisasi berita dengan citraan artifisial. Cara ini cukup sukses mendongkrak jumlah penonton.

Liputan penyergapan di Temanggung juga mampu merebut perhatian pemirsa. Rating tvOne untuk liputan itu rata-rata 8 atau lebih tinggi dari rating sinetron paling ngetop saat ini yang rata-rata 5-7.

Pada saat puncak penyerbuan pukul 10.00-11.00, tayangan ini menarik perhatian 44 persen pemirsa. Di Metro TV, rating tayangan langsung itu rata-rata 5 dan merebut 28,2 persen pemirsa pada jam tayang yang sama.

Persoalan

Namun, liputan langsung seperti itu bukan tanpa persoalan. Bonnie mengatakan, ketika kamera dan mikrofon terus dinyalakan, reporter di lapangan tidak akan sempat mencari informasi, menelepon sumber, dan mewawancarai orang.

Anggota Komisi Penyiaran Indonesia, Bimo Nugroho, menambahkan, pada liputan langsung seperti penyergapan di Temanggung, reporter cenderung menelan mentah-mentah semua informasi yang dia terima. ”Sikap skeptis tidak ada lagi,” ujar Bimo, Selasa (11/8).

Sialnya, kata Bimo, informasi yang diterima reporter ternyata keliru. Saat itu, tvOne dan Metro TV sempat memastikan gembong teroris Noordin M Top tewas dalam penyerbuan itu. Belakangan, yang tewas ternyata Ibrohim.

”Sudah liputannya penuh dramatisasi, informasi yang disampaikan salah pula. Ini bisa menyesatkan penonton,” tambah Bimo.

Wakil Pemimpin Redaksi tvOne Nurjaman Mochtar mengakui, dalam situasi kritis seperti penyergapan teroris, pihaknya tidak bisa segera mengonfirmasi semua informasi yang masuk. ”Yang terjadi akhirnya kami berspekulasi (soal tewasnya Noordin). Tetapi, kami juga menghitung probabilitasnya,” ujar Nurjaman, Jumat.

Pemimpin Redaksi Metro TV Elman Saragih mengatakan, pers memang seharusnya tidak boleh memastikan sesuatu yang belum pasti. ”Awalnya, kami menggunakan kata diduga, lalu diduga keras, tetapi akhirnya ikut-ikutan memastikan Noordin tewas,” tambah Elman, Kamis.

Pemikir Forum Studi Kebudayaan ITB Yasraf Amir Piliang melihat ada gejala hiperealitas dalam tayangan penyergapan di Temanggung.

Hiperealitas adalah istilah yang digunakan Baudrillard untuk menjelaskan keadaan di mana realitas runtuh oleh rekayasa citraan, simulasi, dan halusinasi. Hasil rekayasa itu lalu dianggap lebih nyata dari realitas sebenarnya.

Yasraf melihat gambar liputan itu diambil dari sudut-sudut terpilih. Suara latar artifisial ditambahkan untuk menimbulkan suasana tertentu.

Potongan gambar berikut efek dramatiknya yang disajikan berulang-ulang dianggap sebagai realitas. Apalagi, televisi ketika itu tidak berusaha merangkai peristiwa.

”Kita tidak tahu apa yang terjadi sebelum dan setelah penyerbuan. Yang ada, beberapa sumber disuruh menafsir peristiwa itu.

Akibatnya, yang sampai kepada pemirsa sesungguhnya bukan informasi melainkan enigma (teka-teki),” ujar dia.

Itulah yang terjadi. Pemirsa diberi teka-teki: Noordin... bukan, Noordin... bukan.... Ah, ternyata bukan.

Sumber: KOMPAS.com

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites