Senin, 10 Agustus 2009

Good Bye Mbah Surip, I Love U Full...


Dari sosoknya yang eksentrik, orang sudah tahu siapa dia. Rambut gimbal, topi, baju, dan celana berwarna bendera Jamaika, serta gitar plus tawa lepas ha..ha..ha. Ya, Mbah Surip dan lagu Tak Gendong tiba-tiba saja melejit di pertengahan tahun ini.


Bulan Juni lalu, seiring maraknya debat calon presiden dan wakil presiden, nama Mbah Surip melejit tanpa harus ikut berpolitik. Lagunya, dengan aransemen reggae dan sentuhan dub, bergaung di mana-mana. "Tak gendong, ke mana-mana..."

Ketenarannya langsung disambut penyedia layanan telepon seluler. Lagu Tak Gendong pun didagangkan sebagai nada sambung personal (ring back tone), dengan tarif bervariasi. Salah satu perusahaan penyedia layanan seluler besar, per pekan ketiga Juni lalu, mencatat perolehan dari lagu Mbah Surip itu melewati Rp 2 miliar, meski belum sebulan sejak awal tenarnya.

Urip Ariyanto, yang kemarin wafat di usia 52 tahun bukan 60 tahun yang disebut media (di nisannya tertulis lahir 6 Mei 1957) , bagi Yoyik Lembayung adalah orang yang bersahaja. "Dari sejak pertama kali bertemu pada '80-an, ya, orangnya begitu-begitu saja," kata Yoyik, penggiat di Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan, Jakarta Selatan. Di tempat nongkrong dekat Blok M itulah habitat Mbah Surip.

Yoyik menyebutkan, "Mbah Surip, dulu itu, baru datang dari Mojokerto, dengan gitar dan sepedanya." Sepeda siapa? "Tidak tahu juga, tidak pernah bertanya. Tapi yang pasti, saat itu ada sepeda," ujarnya kepada Tempo kemarin.

Sahabat Mbah Surip yang lain, pelukis Slamet Jenggot, melihatnya sebagai orang yang sangat baik dan suka menolong. Dalam hidupnya, dia sosok sederhana dan tidak pernah macam-macam.

Meski langgam hidupnya mengalir, sosok Mbah Surip juga dikenal sebagai seniman musik idealis. Untuk mencari jati dirinya, dia rela meninggalkan teman sekampung dan keluarganya. "Dia ngegelandang untuk idealismenya," ungkap Slamet, yang kenal Mbah Surip sejak 1978, di rumah Mamiek Prakoso, Kampung Makassar, Jakarta Timur.

Yoyik terakhir kali bertemu Mbah Surip pada Sabtu malam pekan lalu. Seusai menjalani syuting di sebuah stasiun televisi, Mbah Surip menyanyi di Wapres Bulungan. Tentu lengkap dengan tawa khasnya, "Ha...ha...ha.."

Soal tawa khas itu, musisi AGS, Ari Dipayana, sempat terkaget-kaget saat pertama mendengarnya. "Ternyata ketawanya itu beneran," tutur Ari, yang juga kerap beraktivitas di Wapres Bulungan.

Sebagai seorang musisi yang kerap menyusun komposisi, Ari menilai musikalitas Mbah Surip sebetulnya tak istimewa. "Jago sih tidak, pas-pasan, modal pengamen jalanan umumnya," kata Ari, "tapi mungkin karena konsistensinya itu, Tuhan Maha Pengasih, maka beliau mencapai seperti sekarang."

Menurut Ari, sungguh tepat saat Mbah Surip memilih warna musik reggae. "Pas sekali dengan gayanya," ujarnya. Mbah Surip memang terkenal asik, cuek, kocak, dan sederhana, yang juga selalu terbawa ke lagu-lagunya.

Beberapa media massa menyebutkan sepanjang karir musiknya, Mbah Surip konon telah menelurkan empat album dengan debut perdananya bertajuk Ijo Royo-royo pada 1998.

Komedian Mamiek Prakosa mengakui pribadi Mbah Surip yang apa adanya. "Sebagai seniman, Mbah Surip cuma butuh pengakuan. Itu sudah dia dapatkan," kata Mamiek yang tak bisa menyembunyikan kesedihannya.

Satu hal tentang mendiang Mbah Surip, perkataannya sering berubah-ubah. Ditanyai soal ini, Ari memberi permakluman. "Kita (di Wapres) itu ada semacam kekhususan dalam melihat Mbah Surip. Banyak pemaklumannya. Orangnya agak sedikit aneh, tidak pada umumnya, eksentrik. Jadi ngapain saja, orang memberi pengertian," Ari menjelaskan.

Hari wafatnya Mbah Surip segera menjadi topik di ranah maya. Popularitas berita wafatnya Mbah Surip, di detik.com, mengalahkan bom Marriott dan Ritz-Carlton, 17 Juli, seperti ditulis komandan tim teknologi informasi detik.com, Andry Huzain, di Twitter-nya.

Di jaringan microblogging twitter.com sendiri, tema Mbah Surip masuk sepuluh besar topik dunia yang paling banyak dibahas pada saat itu. Banyak orang yang juga membahas apa makna lagu Tak Gendong, apakah lagu anak-anak belaka atau soal dosa yang dibawa ke mana-mana.

"Tafsirnya memang bisa macam-macam. Biarlah tiap orang mengartikan berbeda-beda," kata Yoyik Lembayung. Menurut dia, kesederhanaan lagu Mbah Surip, seperti rutinitas harian di Bangun Tidur, memang bisa diterjemahkan ke mana-mana. Dan itulah, melalui lirik-lirik sederhana yang bisa bermakna banyak, yang membuat Mbah Surip fenomenal.

Selamat jalan, Mbah Surip. We love you full.

Sumber: tempointeraktif.com

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites