Jumat, 21 Agustus 2009

Perburuan Teroris Jangan Stigmatisasi Islam


Upaya perburuan dan pemberantasan terorisme dan para pelaku teroris di Indonesia dikhawatirkan mengarah pada upaya mendiskreditkan dan menstigmatisasi agama dan umat Islam. Padahal pada kenyataannya dalam Islam, aksi terorisme dan peledakan atau bom bunuh diri tidak dibenarkan. Hal itu disampaikan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Hafidz Abdurrahman, Kamis (20/8), saat membuka diskusi Halqah Islam dan Peradaban bertema "Mencari Dalang Terorisme di Indonesia".


Menurut Hafidz, upaya stigmatisasi itu tampak ketika aparat keamanan mencoba mengidentikkan sejumlah kebiasaan dan penampilan tertentu macam busana jilbab, sorban, atau baju gamis, kebiasaan memelihara jenggot, serta tampilan lain sebagai kebiasaan dan perilaku para teroris. "Ketika isu terorisme malah dipakai menyerang Islam, jilbab, jenggot, atau pesantren, maka hal itu menjadikan upaya memerangi terorisme melenceng jauh dari konteksnya. Tuduhan-tuduhan macam itu tidak ada kaitannya sama sekali," ujar Hafidz.

Turut hadir sebagai pembicara dalam antara lain mantan Direktur Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) AC Manullang, juru bicara HTI M Ismail Yusanto, mantan tahanan politik dan anggota Jemaah Imran Umar Abduh, dan Presidium Mer-C Joserizal Jurnalis.

Dalam diskusi, AC Manullang menggambarkan aksi terorisme di dunia ini terjadi akibat pertempuran antara ideologi neoliberalisme dan neokapitalisme Barat dengan peradaban Islam. Ideologi Islam menurutnya menjadi target baru setelah komunisme runtuh. Indonesia termasuk menjadi salah satu sasaran dalam perbenturan peradaban ini, apalagi mengingat populasi pemeluk agama Islam di negara ini termasuk yang terbesar di dunia.

Lebih lanjut terkait keterlibatan militer dalam penanganan masalah terorisme, Manullang menyatakan bahwa hal itu boleh-boleh saja, apalagi mengingat militer memang punya kemampuan intelijen dan penanggulangan teror seperti dimiliki pasukan khusus TNI Angkatan Darat (Kopassus). Akan tetapi, dia mengingatkan, keterlibatan TNI sebagai penjuru utama penanganan terorisme bisa menjadi persoalan, apalagi mengingat masih adanya sisa-sisa trauma masa lalu di masyarakat, ketika pada masa lalu militer sangatlah dominan dan berkuasa.

"Masyarakat kita masih sulit memahami perlunya militer ikut karena masih ada yang namanya fobia militer, apalagi waktu saya masih militer aktif, kejam kan? Dengan begitu, nanti yang jadi bos-nya jangan dari kalangan militer. Cukup kerja sama saja dengan BIN," ujar Manullang.

Manullang menambahkan, penanganan terorisme dan pengejaran terhadap pelaku teroris memerlukan kesatuan komando, terutama terkait kerja intelijen. Dia mengkritik banyak informasi intelijen selama ini bocor ke publik padahal yang seperti itu sangatlah tabu terjadi.

Sumber: kompas.com

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites