Jumat, 21 Agustus 2009

Prita Jangan Menyerah

Betapapun sulitnya posisi Prita Mulyasari, ia tak boleh menyerah. Berdamai dengan Rumah Sakit Omni Serpong, yang menuduhnya melakukan pencemaran nama baik, hanya akan mengubur upaya mencari kebenaran dan keadilan. Apalagi jika syarat perdamaian itu ia harus mengakui kesalahan dan meminta maaf kepada Omni.


Ibu dua anak ini bagai dipermainkan oleh penegak hukum. Kasusnya sempat dihentikan lewat putusan sela oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Tapi putusan ini dikoreksi lagi oleh pengadilan banding setelah jaksa melakukan perlawanan hukum. Akibatnya, kini Prita harus menghadapi sidang lagi.

Di tengah keadaan terpojok itulah sang terdakwa diajak berdamai oleh RS Omni. Prita sempat berunding. Tapi ia menjadi bimbang setelah Omni mengajukan syarat agar ia mau menyatakan permintaan maaf atas kesalahannya. Ia khawatir pernyataan yang dituangkan dalam kesepakatan tertulis ini justru akan memberatkannya dalam persidangan.

Kekhawatiran seperti itu masuk akal. Tidaklah tepat pula pemikiran bahwa perdamaian akan membuat Prita dibebaskan dari dakwaan oleh hakim. Dua masalah ini, upaya damai dan proses hukum, seharusnya terpisah. Jika majelis hakim benar-benar berpegang pada keadilan, mereka tentu akan membebaskan terdakwa sekalipun tak ada perdamaian. Sebab, ia memang tak layak dituduh mencemarkan nama baik.

Prita diseret ke pengadilan hanya karena menulis keluhan mengenai layanan Omni lewat surat elektronik. Bahkan ia sempat ditahan dan baru dilepas setelah publik memprotesnya. Terdakwa dijerat dengan delik pencemaran nama baik dalam Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ia juga dijaring dengan Pasal 27 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang mengatur secara khusus pencemaran nama baik lewat Internet.

Sungguh keterlaluan jika kelak terdakwa dinyatakan bersalah. Tindakan Prita tidaklah termasuk pencemaran nama baik karena ia menceritakan pengalamannya sendiri. Terdakwa tidaklah menyebarkan kebohongan, apalagi memfitnah. Keluhan seperti itu justru merupakan hak pasien atau konsumen yang seharusnya dilindungi.

Delik pencemaran nama baik itu sendiri, baik dalam dalam KUHP maupun UU Informasi, juga sering dipersoalkan dan seharusnya tidak digunakan oleh penegak hukum. Aturan ini dinilai bertentangan dengan kebebasan berpendapat dan cenderung disalahgunakan demi membela kepentingan pihak yang berpengaruh secara politik atau ekonomi.

Itu sebabnya, Prita tak perlu ragu mempertahankan pendiriannya karena ia berada di pihak yang benar. Berdamai dengan Omni justru akan membuat dia seolah-olah bersalah dan mengorbankan haknya untuk mengeluhkan pelayanan rumah sakit ini. Penyelesaian seperti ini juga terkesan memberikan “kemenangan” kepada Omni. Ini akan membuat orang yang menghadapi masalah serupa, mendapat layanan buruk rumah sakit, menjadi takut menyampaikan keluhannya.

Dalam kasus ini, kredibilitas dan integritas penegak hukum dipertaruhkan. Khalayak berharap hakim memutuskan perkara ini berdasarkan prinsip keadilan, dan bukannya menyalahgunakan aturan kaku dalam undang-undang.

Sumber: tempointeraktif.com


0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites