SEIRING dengan tindakan teror melalui peledakan bom di Hotel JW Mariot dan Ritz-Carlton, istilah Wahabisme menjadi populer dan banyak dibicarakan orang. Adalah Abdullah Makhmud Hendropriyono (Mantan Kepala BIN) yang pertama kali melontarkan istilah tersebut di televisi dan mengidentikkannya dengan gerakan Islam garis keras.
Lebih lanjut dia menekankan agar umat Islam bersatu melawan Wahabisme yang menurutnya menjadi aliran penebar teror di dunia. Istilah tersebut ikut dipopulerkan pula oleh Habib Asseqaf yang menyebut Wahabisme sebagai aliran Islam garis keras. Meski, sebenarnya ia juga sering bertindak laiknya pengikut Wahabisme ketika berhadapan dengan aliran lain yang dinilai tidak sejalan dengan pemahamannya.
Berkaitan dengan istilah Wahabisme, barangkali --jika merujuk kepada aliran dalam Islam-- lebih tepat dikatakan Wahabiyyah. Sebab dengan penyebutan itu menurut saya lebih tertuju kepada ajaran-ajaran yang dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Sementara jika kita menyebut Wahabisme --sesuai dengan konteks perang terhadap teror saat ini-- menurut saya hanya akan tertuju kepada satu masalah saja, yaitu kekerasan. Meskipun dalam sejarah perkembangannya, karena terlibat ”perselingkuhan” dengan keluarga Saud, kekerasan terhadap kelompok yang dianggap berbeda menjadi salah satu cirinya.
Pencetus aliran tersebut adalah Muhammad bin Abdul Wahab seorang ulama yang bercita-cita memurnikan Islam. Dan, untuk mewujudkan hal itu, menurutnya hanya ada satu pilihan; kembali kepada ajaran Alquran dan Sunnah serta menjauhkan umat Islam dari segala ajaran yang menurutnya tidak didasarkan atas kedua sumber tersebut.
Derivasi Pada mulanya, apa yang disebut Wahabiyyah sebagai istilah yang diderivasi dari nama belakangnya tidak berbeda dengan aliran lain. Dalam taraf tertentu bisa dikatakan semacam ”wacana” keagamaan sampai akhirnya keluarga Saud merasa bahwa ajaran Muhammad bin Abdul Wahab tersebut bisa dijadikan sebagai alat atau ideologi bagi pasukan untuk melakukan penaklukan daerah-daerah sekitarnya.
Dalam sejarahnya, keluarga Saud hanyalah sebuah penguasa suku di wilayah yang relatif kecil. Oleh sebab itu, mereka sering menjadi bulan-bulanan sejumlah penguasa daerah yang lebih besar termasuk Turki Usmani. Namun, setelah mereka menerima ajaran Muhammad bin Abdul Wahab dan menjadikannya sebagai ideologi dari perjuangan mereka, secara perlahan namun pasti, keluarga Saud bisa memperluas kekuasaan mereka sampai menguasai Nejd tempat Makkah dan Madinah berada.
Ada perkawinan kepentingan. Muhammad bin Abdul Wahab menyebarkan ide-ide pemurnian keagamaan dan keluarga Saud untuk memperluas wilayah kekuasaan. Penyebaran ajaran Wahabiyyah tidak lepas dari kekerasan yang didukung oleh keluarga Saud untuk memperluas kekuasaan. Sebagai konsekuensi dari sinergi dua kepentingan tersebut, sangat logis jika kemudian kekerasan terhadap sesama muslim menjadi fenomena ketika itu karena upaya penyebaran ajaran dibarengi upaya untuk memperluas kerajaan. Sehingga, di samping juga ada upaya penaklukan ajaran agar kembali menurut mereka ke ajaran murni sesuai Alquran dan Sunnah. Ada juga upaya untuk menaklukkan wilayah dalam konteks pertumbahan darah adalah menjadi pilihan yang tidak terhindarkan.
Sebagai buah perselingkuhan dari dua kepentingan itu, ribuan pengikut aliran yang dianggap menyimpang, terutama dari kalangan pengikut tarekat, harus menemui ajal lantaran mereka dianggap sebagai pelaku khurafat dan bidah. Atau dengan istilah lain, lantaran keislaman mereka yang terbantai tidak memenuhi standar yang ditetapkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Aliran Wahabiyyah memang mengklaim sebagai aliran yang berupaya memurnikan ajaran Islam sesuai Alquran dan Sunnah serta menolak semua argumen yang menurut mereka tidak didasarkan kedua sumber dalam Islam tersebut. Tidak hanya sampai di situ --paling tidak pada masa kelahirannya-- karena aliran ini yang didukung kekuatan militer keluarga Saud. Mereka mudah melakukan kekerasan terhadap aliran Islam lain yang dinilai sebagai pelaku bidah dan khurafat.
Atas dasar perjalanan sejarah yang senantiasa bersinggungan dengan kekerasan tersebut, sejumlah kalangan ketika melihat ada sekelompok muslim yang melakukan tindakan teror dan disebut sebagai pengikut Wahabisme. Jadi Wahabiyyah yang sebenarnya sama dengan Asyariyyah dan Syafiiyyah lebih diidentikkan dengan kekerasan.
Muncul Kepentingan Pada mulanya, kekerasan bisa jadi tidak diinginkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Namun, karena ada kepentingan lain selain penyebaran ide keagamaan, yaitu perluasan wilayah kekuasaan keluarga Saud, ajarannya menjadi semacam penyemangat penaklukan sehingga ide-ide yang semestinya disebarkan melalui pendekatan persuasif dan elegan menjadi berkait berkelindan dengan kekerasan. Maka, terjadilah sebutan Wahabisme yang hanya mengedepankan satu aspek dari sejarah perkembangannya, yaitu kekerasan.
Pengidentikan sebenarnya tidak terlalu fair karena terkesan mengesampingkan ekploitasi ajaran tersebut oleh keluarga Saud. Kepada saudara kita di Indonesia yang kebetulan mempunyai kesepahaman dengan ide-ide keagamaan yang dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahab harus memperbaiki citra tersebut.
Saya sependapat bahwa penyimpangan harus diluruskan. Namun, perlu diingat bahwa dalam Islam tidak seorang pun --selain Nabi Muhammad ketika masih hidup-- bisa mengklaim bahwa pendapatnya benar. Sebab Islam sendiri memberikan ruang sangat luas bagi terjadinya perbedaan pendapat ketika berkaitan dengan masalah itu sebenarnya sudah terjadi sejak Nabi wafat.
Apa kita mau mengatakan sahabat sesat lantaran berbeda pendapat dari arus utama ketika itu sementara sahabat sezamannya hanya memilih untuk berkata itu adalah pendapat semata. Oleh sebab itu, marilah kita contoh sikap toleran sahabat agar Islam sesuai akar kata salam, yakni benar-benar menjadi penebar kedamaian dan rahmat; bukan teror dan ketakutan.
Sumber: suaramerdeka.com
0 komentar:
Posting Komentar