Pukulan menyakitkan datang lagi dari Malaysia. Negara tetangga itu belum berhenti mencaplok seni budaya Indonesia. Kali ini tari Pendet dipakai untuk menjual pariwisata Malaysia. Belajar dari masa lalu, sekadar protes dan marah-marah tidaklah cukup. Pemerintah harus lebih aktif melindungi budaya negeri ini dengan mengurus hak kekayaan intelektual.
nsiden tari Pendet muncul saat Malaysia menayangkan iklan promosi wisata yang bertajuk "Enigmatic Malaysia". Dalam iklan yang diputar di stasiun televisi Discovery Channel itu Malaysia menggunakan tari Pendet sebagai ikon pemikat turis.
Masyarakat Indonesia pun berang. Para seniman di Bali berunjuk rasa. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengundang Wakil Duta Besar Malaysia ke kantornya. Mereka marah karena tari Pendet jelas-jelas khas Bali. Dulu, tari yang biasa digelar di pura ini dimaksudkan untuk menyambut kedatangan dewata ke alam dunia. Lalu, koreografer Bali, I Wayan Rindi, sedikit mengubahnya menjadi tari "ucapan selamat datang" kepada para tamu.
Kisah pencaplokan seni budaya seperti ini bukan yang pertama kali. Dua tahun yang lalu khalayak juga gempar ketika Malaysia mengklaim lagu Rasa Sayange , yang sudah tersohor sebagai lagu Maluku, sebagai miliknya. Negeri itu juga mengadopsi reog, yang jelas-jelas asli dari Ponorogo. Bahkan reog yang ada di Malaysia pun dikenali sebagai buatan Ponorogo, Jawa Timur.
Saking kesalnya, masyarakat Maluku dan Ponorogo berencana mengadukan Malaysia ke Mahkamah Internasional sebagai perampas "hak cipta" lagu dan seni budaya. Tapi kasus itu juga berakhir setelah Duta Besar Malaysia Dato' Zainal Abidin Zain meminta maaf. Setelah itu, pemerintah kembali melupakan upaya melindungi budaya tradisional.
Sampai kapan pemerintah Indonesia membiarkan pencaplokan? Saat ini Malaysia memang "haus budaya lokal". Mereka telah memboyong para pembatik dari Solo, serta perajin angklung dari lingkungan Mang Udjo, Bandung. Dengan cara itulah Malaysia kini menjadi negara nomor satu penggaet turis asing di Asia Tenggara dengan mengantongi 20 juta turis setahun, mengalahkan Thailand (15 juta turis) dan Indonesia (6,4 juta turis).
Itu sebabnya, pemerintah harus lebih serius melindungi seni budaya tradisional dari tangan para "perampas". Upaya seperti menginventarisasi jenis-jenis batik dan mendaftarkannya ke UNESCO (badan PBB yang mengurusi budaya) amat bagus. Tapi langkah ini harus diikuti dengan upaya konkret melindungi hak cipta karya seni tradisional yang umumnya tidak jelas penciptanya.
Mestinya pemerintah memanfaatkan senjata berupa ketentuan perlindungan “indikasi asal” yang tercantum dalam Konvensi Paris versi WIPO (Organisasi Hak Kekayaan Intelektual Dunia). Ketentuan ini bisa dipakai melindungi kreasi budaya Indonesia. Indikasi asal merujuk pada sejarah, akar, budaya, tradisi pembuatan, dan lingkungan yang menumbuhkannya. Contohnya, reog Ponorogo jelas milik rakyat Ponorogo. Tari Pendet juga tak ada keraguan milik Bali.
Negara-negara maju mati-matian melindungi hak kekayaan intelektual mereka--merek, hak cipta, dan paten--dengan berbagai cara. Sungguh bodoh jika kita terus-menerus menelantarkan kekayaan budaya bangsa ini.
Sumber: tempointeraktif.com
0 komentar:
Posting Komentar