Tidak selayaknya polisi mengawasi dakwah selama bulan Ramadan. Upaya seperti itu sia-sia bila bertujuan mencegah terorisme, apalagi menangkap peneror. Namanya saja teroris, mereka tak bakal berkoar-koar atau mencari dukungan di tempat umum. Kendati berkedok ajaran agama Islam, teroris selalu beraksi secara terselubung.
Kepala Kepolisian RI Jenderal Bambang Hendarso Danuri membantah adanya upaya mengawasi dakwah. Ia mengatakan tugas ini merupakan domain Departemen Agama. Menurut Bambang, polisi hanya akan turun tangan jika Departemen Agama kewalahan.
Walaupun melegakan, pernyataan itu masih perlu dibuktikan dengan kenyataan di lapangan. Apakah polisi benar-benar hanya akan mengejar teroris atau masih saja memata-matai kegiatan agama? Polisi harus berpikir cerdas. Pendekatan yang salah justru akan mengundang antipati kalangan umat Islam. Sedangkan teroris yang sebenarnya dibiarkan lolos.
Itulah peliknya memerangi teroris. Polisi juga harus mampu memetakan gerakan kaum muslim, yang amat beragam. Penampilan mereka pun berbeda-beda. Ada yang cukup bersarung dan berkopiah, ada juga yang bergamis dan berjenggot bagi lelaki serta bercadar bagi perempuan. Begitu pun, itu bukan ciri bahwa mereka teroris, karena teroris tak bisa dilacak hanya dari penampilan luarnya.
Jangan heran bila penangkapan sejumlah anggota Jamaah Tabligh asal Filipina baru-baru ini mengundang protes. Meski penampilan dan gerak-geriknya mencurigakan, mereka tak ada sangkut-pautnya dengan teroris. Mereka cuma ingin berdakwah secara damai.
Harus diakui, jaringan teroris sering memanfaatkan masjid atau pesantren untuk merekrut pengikutnya. Tapi tidaklah tepat bila polisi lantas mencurigai semua kegiatan masjid dan pesantren di negeri ini, apalagi sampai mengawasi dakwah mereka. Lebih baik polisi tetap berfokus mengusut dan mengejar para pelaku yang tersangkut langsung oleh aksi teror.
Bukan berarti kita tidak perlu berupaya mencegah munculnya ajaran atau pemikiran yang pro-teroris. Ikhtiar ini justru harus dilakukan semua pihak, pemerintah, masyarakat, tokoh agama, juga keluarga. Lewat kampanye antiteroris, pemerintah bisa mendorong masyarakat menjauhi keyakinan yang menyesatkan. Peran tokoh agama dan keluarga juga tak kalah penting dalam menghadang tumbuhnya teroris.
Pemerintah tak perlu mencurigai agama tertentu atau mengawasinya sekalipun lewat Departemen Agama. Jika hal ini dilakukan, apa bedanya dengan di zaman Orde Baru? Saat itu para pendakwah sering diawasi, terutama mereka yang cenderung mengkritik pemerintah. Jika langkah ini dilakukan sekarang tidaklah sesuai dengan semangat demokrasi sekaligus kebebasan menjalankan ibadah, hal yang dijamin oleh konstitusi kita.
Dalam era demokrasi, pemerintah jelas harus berubah sikap dalam memerangi dan mencegah kejahatan yang berbahaya bagi negara, seperti aksi terorisme. Bukan dengan mencurigai masyarakat, terutama kaum muslim, melainkan justru mengajak mereka bersama-sama membasmi teroris.
Sumber: tempointeraktif.com
0 komentar:
Posting Komentar