Pasca-Pemilihan Umum 2009, saat terjadi peluang adanya rotasi kabinet, belum terdengar gaung wacana dan diskursus kebijakan yang menyinggung tentang pentingnya kesehatan sebagai salah satu variabel penting bagi keberhasilan pembangunan nasional. Paling tidak siapa menteri mendatang yang bakal memimpin sektor kesehatan ini, karena dia akan sangat menentukan arah kebijakan dan upaya peningkatan status kesehatan masyarakat. Selama ini belum ada yang mengangkat isu peningkatan mutu pelayanan kesehatan sebagai bagian penting dari social welfare.
Padahal pengangkatan isu-isu ini sangat strategis, tak hanya dalam konteks marketing politik, tapi juga hak untuk sehat merupakan bagian dari hak dasar ekonomi, sosial, dan budaya. Hingga kini dunia masih disibukkan untuk mengentaskan problematik kesehatan manusia. Ini menunjukkan bahwa satu hal terpenting dari indikator keberhasilan pembangunan adalah kesehatan.
Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals) pada 2000, yang disepakati oleh 189 negara di dunia, memuat delapan target. Kesehatan menjadi tujuan utama pencapaian pembangunan. Sebab, delapan target itu sangat terkait langsung maupun tidak langsung dengan isu kesehatan, yakni dari persoalan pengentasan angka kemiskinan dan kelaparan hingga keseimbangan lingkungan global.
Meningkatnya perhatian masyarakat terhadap dunia kedokteran mencerminkan kesadaran baru terhadap kesehatan. Di sisi lain, mereka merasakan betapa mahalnya nilai kesehatan. Status kesehatan masyarakat merupakan salah satu indikator dari tingkat kesejahteraan suatu negara. Pelayanan kesehatan merupakan bagian dari social welfare yang sudah menjadi kesepakatan internasional. Negara harus menjamin setiap warga negara atas pelayanan kesehatan. Di Indonesia, dalam amendemen Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H, telah ditetapkan bahwa kesehatan merupakan bagian dari hak asasi manusia. Artinya setiap warga negara telah mendapat jaminan negara (pemerintah) untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar medis.
Industri kesehatan
Di sisi lain, problem keuangan menyebabkan kemampuan pemerintah untuk membiayai pembangunan menjadi semakin berkurang. Secara praktis, pemerintah menjadi semakin menjauhi karakteristik sebagai negara kesejahteraan (welfare state), di mana negara seharusnya membiayai seluruh pelayanan publiknya dari hasil pajak dan usaha negara.
Akibatnya, di samping mengacu pada pelayanan sosial kemanusiaan, secara faktual pelayanan kesehatan telah berkembang menjadi suatu industri yang berbasis pada prinsip-prinsip ekonomi. Salah satu ciri yang menonjol adalah sifat kompetitif yang menjadi basis pengembangan mutu pelayanan kesehatan. Bahkan, tidak segan-segan lagi, badan hukum rumah sakit berwujud perseroan. Artinya, rumah sakit secara terang-terangan akan mencari untung. Dengan demikian, masuklah era komersialisasi pelayanan kesehatan.
Memang persepsi tingkat mahalnya tarif pelayanan kesehatan sangatlah relatif. Namun, dari kenyataan yang berkembang di Indonesia, kondisi sosial-ekonomi yang masih rendah menimbulkan persoalan sendiri pada tingkat kemampuan membayar warga masyarakat terhadap biaya pelayanan kesehatan. Kejadian sakit dan tingkat keparahannya niscaya akan mengenai siapa saja, baik kaya maupun miskin. Bagi si kaya (sebagian kecil masyarakat Indonesia), tidaklah menjadi masalah berapa pun nilai imbalan (tarif) untuk praktek dokter asalkan penyakit yang dideritanya pulih kembali. Persoalan umum kita adalah kebanyakan masyarakat masih sulit membayar sesuai dengan tarif praktek dokter. Akibatnya, kecuali jika "terpaksa" harus ke dokter, mereka cenderung memilih mendatangi praktek paramedis atau bidan, bahkan mendatangi praktek pengobatan nonmedis. Berjubelnya pasien di praktek dukun Ponari sebagai contoh riil keadaan masyarakat kita.
Program Jamkesmas yang diperuntukkan bagi masyarakat miskin dirasakan cukup membantu mereka yang tercatat masuk data sebagai "maskin". Namun, bagaimana bagi mereka yang sedikit di atas miskin? Ketika mereka harus membayar biaya yang cukup mahal, maka spontan mereka menjadi kategori miskin karena kemampuan keuangannya terbatas. Tentu ini akan menjadi pemikiran bersama dalam kerangka konsep Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Kemiskinan merupakan limpahan problem sosial-ekonomi yang tiada kunjung membaik.
Sesungguhnya kemiskinan bukan hanya tanggung jawab sektor kesehatan. Jaminan Sosial Nasional pada prinsipnya merupakan salah satu faktor bagi redistribusi pendapatan terhadap mereka yang berpendapatan rendah. Perawatan kesehatan, tunjangan keluarga dan hari tua, serta bantuan finansial lainnya seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah/negara. Dalam batas yang benar, jaminan sosial terkait dengan hak asasi manusia karena merupakan hak dasar yang harus dipenuhi oleh negara kepada setiap warga negara tanpa kecuali.
Peningkatan anggaran
Pada era otonomi daerah ini, sebagian daerah telah menuntut agar daerah lebih diberi keleluasaan mengatur sektor kesehatan. Sebagian daerah yang telah percaya diri menyatakan bahwa daerah akan menyelenggarakan semacam jaminan kesehatan daerah yang biasa disingkat Jamkesda secara mandiri. Hal yang perlu diperhatikan adalah kesepahaman antarpihak terhadap keputusan MK RI terhadap perkara nomor 007/PUU-III/2005 tentang pengujian UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN. Di sisi lain perlu dipikirkan bagaimana mempersiapkan peraturan di bawahnya agar relevan dan mengandung unsur keadilan. Kewajiban daerah dan prioritas belanjanya adalah mengembangkan sistem jaminan sosial.
Daerah diperbolehkan mendirikan badan penyelenggara jaminan sosial asalkan tetap memenuhi UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dengan demikian, dibutuhkan kepedulian para penentu kebijakan terhadap sektor kesehatan, untuk memperjuangkan peningkatan anggaran secara bertahap mencapai 15 persen dari total APBN atau APBD sesuai dengan Tap MPR No. VI 2002 yang ditujukan kepada presiden. Hal ini mengingat anggaran kesehatan kita hanya berkisar 2-3 persen dari total APBN/APBD, bahkan banyak daerah masih di bawah 2 persen APBD.
Maka salah satu langkahnya diawali dengan komitmen para pengambil kebijakan (nasional/lokal) terhadap pembangunan kesehatan di Indonesia. Pelaksanaan program jaminan kesehatan gratis bagi semua penduduk di Provinsi Sumatera Selatan merupakan realisasi dari janji kampanye gubernur pada saat pemilu. Penduduk merasa terbantu oleh program ini. Semoga daerah lain akan segera mengikuti kebijakan yang pro-rakyat seperti di Sumatera Selatan ini dengan segala kelemahan yang mungkin perlu diperbaiki. Harapannya, para pengambil kebijakan memiliki komitmen terhadap isu kesehatan, yang pada akhirnya menjadikan warga negara merdeka dari sakit.
Sumber: tempointarktif.com
0 komentar:
Posting Komentar