Melihat serangkaian peristiwa pengeboman yang terjadi di Tanah Air sejak 2000 menegaskan bahwa kita masih tidak berdaya menghadapi man-made disaster yang satu ini. Bom bunuh diri memenuhi karakteristik angsa hitam, suatu peristiwa outlier yang mustahil dilakukan oleh orang kebanyakan, berdampak luar biasa, dan kita berupaya merasionalisasinya.
Mengingat kehadirannya yang tak terduga, masihkah ada oportunitas untuk mencegahnya? Mungkinkah dibangun suatu early warning system untuk mendeteksi kehadirannya? Menihilkannya mungkin sebuah elusive goal. Negara adidaya seperti Amerika Serikat saja kecolongan, apalagi kita. Mereka yang selama ini terjebak pada praktek face and appearance profiling akan teperdaya. Kenyataannya, sistem pendeteksi konvensional tidak lagi mampu mengenali sang aktor berikut peralatannya.
Jebakan kebolehjadian Posterior
Berbagai liputan tentang pelaku aksi teroris selalu menyampaikan tipikal karakteristik umum pelakunya, di antaranya: (1) berkelakuan baik, (2) cenderung pendiam, (3) taat beragama, (4) cinta keluarga. Berdasarkan populasi dengan karakteristik di atas, kita bisa tuliskan kebolehjadian posterior (posterior probability), P(T|K) yang menjelaskan kebolehjadian terjadinya aksi teror, T jika diberikan kebolehjadian hadirnya orang-orang berkarakteristik di atas, K. Melihat kenyataan karakteristik umum tersebut di atas ada di sekitar kita dan memang melekat pada pelaku teror, maka P(T|K) selalu positif, seberapa pun kecilnya.
Sekarang tengoklah apa yang terjadi jika K adalah kebolehjadian hadirnya orang-orang berkarakteristik berikut: (1) penjahat, (2) pemabuk, (3) perampok dan seterusnya. Yang mengejutkan adalah P(T|K)-nya adalah nol. Apa yang salah dengan dua kebolehjadian di atas? Kita justru mencurigai orang-orang berperilaku baik sebagai pelaku teror. Di sinilah diperlukan kehatian-hatian ketika ingin mendeteksi peristiwa teror berdasarkan kebolehjadian posterior.
Untuk mengatasinya, karakteristik pemicu teror harus diubah. Sekarang tetapkan karakteristik pelaku teror adalah (1) memiliki kebencian, (2) berpandangan sempit, (3) tidak menghargai kehidupan. Contoh ketiga karakteristik ini cukup menjelaskan alasan melakukan bom bunuh diri. Di dalam diri pelaku dipenuhi oleh rasa kebencian yang mendalam; berpandangan sempit dalam berideologi. Sehingga untuk meniadakan kebolehjadian P(T|K) yang perlu dilakukan adalah bagaimana menciptakan kondisi yang mampu meredam karakteristik di atas. Tidak mudah memang. Tapi coba bayangkan jika masyarakat di sekitar kita adalah para pengapresiasi kehidupan, menghargai keragaman, sepertinya ancaman teror akan padam dengan sendirinya.
Peristiwa teror bom bunuh diri adalah suatu outlier. Memahaminya tidak bisa dengan menggunakan kerangka kenormalan. Tidak akan ada orang normal dalam kriteria kenormalan yang mau melakukannya. Mendeteksinya tidak bisa hanya menggunakan kriteria yang menyimpulkan mereka adalah bukanlah kita. Membangun sistem pendeteksi dini lebih merupakan qualifier. Untuk menghadapinya diperlukan pendekatan sistem; mengenali sistem pendestruksi nilai yang dijalankan oleh para aktor di balik kejadian teror.
Pendestruksi nilai
Aksi terorisme dalam bentuk apa pun dapat dilihat sebagai suatu proses transformasi yang mendestruksi nilai. Tidak ada satu pun dari kita yang bersedia menjadi pengkonsumsi output yang dihasilkan. Berbeda dengan proses pertambahan nilai yang dijalankan pelaku bisnis: menghasilkan sesuatu dari yang tidak bernilai menjadi suatu yang bernilai di mata konsumen.
Meskipun demikian, seperti halnya proses pertambahan nilai, proses pendestruksi nilai yang dilakukan oleh teroris juga melibatkan input-proses-output. Input dapat berupa sesuatu yang ditransformasi dan yang diperlukan untuk mentransformasi. Dalam aksi bom bunuh diri, input yang ditransformasi meliputi segala bahan, item, komponen yang diperlukan untuk merakit bom. Untuk mentransformasikan input tersebut diperlukan ahli pembuat bom, fasilitas, dan segala peralatan yang menunjang.
Proses transformasi baru berlangsung jika aktor pendesain teror menjalankan tahapan desain, perencanaan dan pengendalian, serta perbaikan. Tahapan desain membicarakan lokasi perakitan, kapasitas bom, jejaring pasokan, teknologi bom. Setelah tahapan desain disiapkan, berikutnya pelaku teror merencanakan kapan waktu yang tepat untuk melakukan aksinya, membeli dan mengorder segala keperluannya. Berbeda dengan proses pertambahan nilai yang melibatkan pengendalian, dalam arti melakukan pengendalian kualitas selagi proses transformasi berlangsung, pelaku teror tidak melakukannya. Kualitas pengeboman diketahui setelah aksi teror. Pemimpin teroris akan mengetahui baik-tidaknya kualitas pengeboman setelah kejadian. Jika dianggap tidak baik, mereka akan melakukan proses perbaikan kualitas untuk aksi berikutnya.
Sebagai sebuah proses transformasi, keberhasilannya akan ditentukan oleh seberapa besar kemampuannya untuk mengatasi berbagai gangguan (noises) dalam menghasilkan output yang diinginkan. Sementara dalam proses pertambahan nilai kita berupaya meminimalkan terjadinya gangguan, sebaliknya menghadapi proses pendestruksi nilai ini kita justru harus menghadirkan banyak gangguan dan ketidaknyamanan kepada teroris.
Untuk menggagalkan keluarnya output yang diinginkan teroris, pertama kita harus mencegah mereka dalam mendapatkan input yang diperlukan. Putus segala akses untuk mendapatkan bahan baku bom. Awasi segala pemain yang terlibat dalam rantai pasokan pembuatan bom. Juga hadirkan atmosfer di sekitar kita yang tidak akan menyuburkan keluarnya segala ide bom bunuh diri, apa pun insentifnya. Mungkin yang terakhir inilah yang terpenting. Tidak mudah memang, namun bukan suatu yang mustahil dilakukan.
Menghadapi aksi terorisme memerlukan pendekatan layaknya seorang ibu yang tidak akan pernah membiarkan bayinya jatuh dari dekapan. Zero terror harus menjadi target pencapaian dalam upaya menangani aksi terorisme. Itu dimungkinkan selama kita semua menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan.
Sumber: tempointeraktif.com
0 komentar:
Posting Komentar