Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengendus 68 transaksi keuangan telah dilakukan para pelaku terorisme lewat sistem perbankan. Kepala PPATK Yunus Husein mengungkapkan kemarin, transaksi itu berlangsung pada 2004-2009. "Kami sudah serahkan laporannya kepada polisi," katanya.
Menurut Yunus, lembaganya belum mengetahui apakah salah satu transaksi tersebut terkait dengan aksi pengeboman pada 17 Juli lalu di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton.
Dari Kuningan, Jawa Barat, dilaporkan Detasemen Khusus 88 Antiteror mencokok Haji Imam. Orang ini diduga menjadi penghubung donatur teroris di luar negeri dengan jaringan Noor Din. Densus lalu membawa orang ini ke Jakarta. Belum ada konfirmasi dari polisi soal penangkapan tersebut.
Hingga kini polisi belum mengungkapkan asal-usul dana pengeboman kedua hotel itu. Tapi dipastikan misi bom bunuh diri itu membutuhkan biaya besar. Untuk menginap dua hari di Marriott, misalnya, mereka mengeluarkan biaya sekitar Rp 2 juta, di luar biaya lima kali makan-minum para pelaku di JW Lounge di lobi hotel tersebut. Belakangan, Detasemen Khusus 88 Antiteror juga menyita mobil pikap dan bahan-bahan bom seberat setengah ton milik para teroris itu dari Jatiasih.
Beberapa petunjuk soal asal dana pengeboman sudah didapat polisi. Misalnya Saefuddin Jaelani, yang merekrut dua pelaku bom bunuh diri di Marriott-Ritz dan kini menghilang, diketahui memiliki dua rekening: satu atas namanya dan lainnya atas nama Jarmo, tetangganya di Telaga Kahuripan, Parung, Bogor.
Kepada wartawan, Jarmo mengungkapkan, ia pernah dimintai tolong untuk membuatkan rekening di bank memakai namanya sendiri.
Alasan Saefuddin, ia akan mendapat kiriman uang untuk membangun pesantren di Bogor dan membiayai kegiatan keagamaannya. Uang itu berasal dari donatur di Yaman, negara di Timur Tengah.
Keterangan Jarmo memperkuat dugaan bahwa pengeboman Marriott-Ritz memang didanai asing. Sumber Tempo di JW Lounge mengungkapkan, ada lima bill makan-minum dari kamar 1808 Marriott, yang menjadi tempat menginap pengebom. Kelima bill tersebut dipakai tiga lelaki. "Satu dari ketiga lelaki itu wajahnya seperti orang Timur Tengah. Ia juga selalu bicara bahasa arab," ujarnya.
Orang asing itu sejauh ini tak pernah disebut-sebut polisi. Padahal polisi sudah mengungkapkan identitas tiga dari empat orang yang diduga diketahui pernah bersama pengebom. Ketiganya adalah pelaku pengeboman, Saefuddin, dan penyewa kamar 1808.
Sayangnya, Jarmo tidak mengetahui apakah orang Yaman itu jadi mengirimkan uang kepada Saefuddin dan apakah account-nya menjadi rekening penampungan dari uang tersebut. Soalnya, meskipun account itu dibuat memakai nama dia, buku tabungan dan kartu ATM-nya langsung diserahkan kepada Saefuddin. Jarmo mengaku hanya pernah mendengar cerita bahwa Saefuddin mengubah rencana pembangunan pesantrennya dari semula di Bogor ke Solo.
Ditanyai soal rekening Saefuddin tersebut oleh Tempo, Yunus mengatakan pihaknya belum menelusuri rekening Saefuddin itu. Tapi dia mengakui lembaganya dan kepolisian sudah membuka komunikasi untuk menyelidiki aliran dana yang digunakan para tersangka pelaku aksi terorisme itu.
Namun, untuk soal rekening tersebut, "Belum ada permintaan dari Densus 88," ujarnya.Menurut Yunus, untuk menelusuri rekening tersebut, pihaknya dan polisi masih harus membahas teknis penelusurannya secara mendetail.
Ini diperlukan karena penelusuran aliran dana hanya bisa dilakukan jika identitas rekening itu valid. "Jika datanya tidak valid, penelusuran akan sulit dilakukan," dia menekankan.
Yunus mengatakan, dalam 68 transaksi yang sejauh ini sudah diendus lembaganya, diketahui bahwa sumber uangnya terlacak dari Indonesia dan dari negara asing. Sumber dana dari luar negeri itu berasal dari Malaysia dan Thailand.
Sumber: tempointeraktif.com
0 komentar:
Posting Komentar