DIBANDING beberapa tahun lalu, Hamid, sebut saja namanya begitu, kini sudah berubah. Dulu, dia bertugas sebagai kurir yang menghubungkan para pemimpin jaringan bawah tanah Jamaah Islamiyah. Kini, dia mahasiswa ekonomi sebuah perguruan tinggi. “Biaya kuliah saya dibantu polisi,” katanya berterus terang.
Pria berperawakan kecil ini sudah menjalani program deradikalisasi yang digagas Detasemen Khusus 88, satuan khusus antiteror Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia, sejak ditangkap pascapeledakan bom di Kedutaan Besar Australia, lima tahun lalu. “Aksi militer atas nama Islam sudah tidak relevan,” ujarnya ketika dihubungi pekan lalu. Dia sekarang bertekad menguatkan ekonomi umat Islam. “Dakwah itu harus yang berguna untuk masyarakat,” katanya.
Dalam catatan polisi, ada lebih dari 430 orang yang ditangkap karena dituding terlibat teror. Separuh di antaranya sudah bebas dari penjara. Pada masa Detasemen Khusus 88 dipimpin Brigadir Jenderal Suryadharma (kini purnawirawan), program deradikalisasi atas para eks narapidana teror gencar dilakukan. Namun program itu kini tak jelas kelanjutannya.
“Polisi tidak bisa diberi tanggung jawab menangani semuanya,” kata Kepala Bidang Penerangan Umum Divisi Humas Kepolisian Indonesia Komisaris Besar I Ketut Untung Yoga Ana. “Masak yang menangkap diminta membina juga? Semua ada bagiannya sendiri-sendiri,” katanya lagi.
Menurut Untung, polisi terus mengawasi perkembangan para eks napi. “Program untuk merehabilitasi mereka seharusnya ada, namun lembaga pemasyarakatan menghadapi kendala dana,” ujarnya. Padahal, “Ini tanggung jawab bersama.”
Tidak berlanjutnya program deradikalisasi polisi bisa berdampak panjang. Awal Juli lalu, beberapa hari sebelum dua bom meledak di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Jakarta, sebuah lembaga studi, Australian Strategic Policy Institute, merilis sebuah temuan. “Bebasnya para kader Jamaah Islamiyah dari penjara-penjara di Indonesia, yang terputus dari lingkaran utama kelompok Jamaah Islamiyah, berpotensi menumbuhkan generasi baru kelompok radikal,” tulis laporan itu.
Noor Huda Ismail, penulis riset tersebut, mengaku kesimpulan ini diperoleh dari wawancara intensif dengan para eks napi itu sendiri. “Sekeluar dari penjara, mereka tidak bisa masuk kembali ke komunitas lama karena dicurigai dekat dengan polisi,” katanya. Di sisi lain, masyarakat memberi mereka label negatif sebagai pelaku teror.
“Karena terpojok, mereka mudah direkrut oleh kelompok Noor Din M. Top dan kembali terlibat terorisme,” ujarnya. Sebagai veteran, bahaya kembalinya mereka ke barisan “pengantin” alias pelaku peledakan bom jadi berlipat ganda.
***
KANTOR Yayasan Prasasti Perdamaian menumpang di sebuah perusahaan analis keamanan, di lantai 10 Graha Atrium, Senen, Jakarta Pusat. “Kantor kami cuma sebuah meja dan komputer,” kata Noor Huda. Alumnus Pondok Pesantren Ngruki, Solo, Jawa Tengah, ini salah satu pendiri Yayasan. Sehari-hari ada lima orang yang aktif menjalankan kegiatan lembaga itu. “Kadang ada dua-tiga orang lain yang membantu,” ujarnya. Meski bersahaja, aktivitas mereka tak bisa dianggap sepele: membantu eks narapidana kasus terorisme kembali ke masyarakat.
“Pada dasarnya, kami berusaha memberikan pemahaman bahwa realitas di dunia tidak sesederhana yang mereka bayangkan,” kata Noor Huda. Para napi kasus terorisme, menurutnya, cenderung melihat masalah secara hitam-putih. “Hanya kami versus mereka, Islam versus non-Islam,” ujar Noor Huda. Dari dialog dan interaksi intensif, diharapkan pola pandang itu berubah. “Sebelumnya, mereka main hajar saja, tanpa kalkulasi sosial atas dampak aksi teror mereka,” katanya.
Sampai saat ini, baru 10 eks napi yang ditangani intensif. Proses pendekatan terjadi secara alamiah. “Kami tidak pernah aktif merekrut. Mereka yang datang kepada kami, minta bantuan,” ujar Noor Huda.
Pola penanganannya sederhana. “Kuncinya adalah kepercayaan,” kata Syihabuddin, salah satu peneliti di yayasan ini. Dia menceritakan bagaimana dia berusaha membangun hubungan baik dengan para terpidana kasus terorisme dengan rutin mengunjungi mereka di penjara. “Di sana, kami bermain pingpong, lalu ngobrol macam-macam,” ujarnya. Sumber penghasilan selepas bui dan soal keluarga adalah dua topik utama yang sering didiskusikan.
“Kebanyakan dari mereka memang susah mencari pekerjaan setelah keluar dari penjara,” kata Martin Manurung, Wakil Ketua Dewan Pengawas Yayasan. Karena suka bekerja keras dan mudah meyakinkan orang lain, mereka lebih pas diarahkan untuk berwiraswasta. Ada eks teroris yang diberi pinjaman modal untuk membuka perkebunan, ada yang lalu membuka usaha pertukangan, peternakan, warung makan, sampai penyewaan mobil.
Selain itu, Yayasan merancang sejumlah kegiatan yang bisa mempertemukan para eks teroris itu dengan kaum yang selama ini mereka benci. “Sebelumnya, mereka amat benci kepada orang Kristen, orang bule, bahkan muslim di luar kelompok mereka,” kata Martin. Sekarang beberapa dari mereka bahkan sudah mau mengucapkan selamat Natal kepada Martin.
Semua program membutuhkan dana besar. Sejauh ini, semua masih dibiayai secara swadaya. “Kadang-kadang pakai duit dari kocek sendiri,” ujar Martin.
Noor Huda mengakui program yayasan ini masih jauh dari sempurna. “Pendekatan kami belum sistematis,” katanya. Selain itu, pola-pola deradikalisasi yang digunakan pun masih belum efektif menyentuh mereka yang benar-benar bergaris keras. “Yang kami lakukan baru memperlakukan mereka sebagai sahabat, dan mendengarkan keluh-kesah mereka, seraya berharap mereka belajar sesuatu dari interaksi ini,” katanya.
Kuncinya, kata Noor Huda, jangan pernah menantang akidah mereka. “Mereka akan tertawa: ‘Kamu tidak pernah jihad, kok, mau melarang orang lain berjihad’,” ujarnya.
***
TIDAK semua orang optimistis dengan program deradikalisasi “swasta” semacam ini. Nasir Abbas salah satunya. Mantan pemimpin Jamaah Islamiyah yang pernah mengajar Noor Din M. Top di Moro, Filipina, ini menilai pendekatan itu bukan jaminan pelaku teror bisa diluruskan. “Siapa yang tahu isi hati orang?” katanya akhir pekan lalu. “Tapi, sebagai usaha, tentu ini positif dan harus dihargai.”
Cendekiawan muda Nahdlatul Ulama, Zuhairi Misrawi, yang juga Ketua Moderate Moslem Society, menilai program deradikalisasi tidak bisa berjalan sendiri. “Terlebih jika pemahaman jihad yang keliru masih ada di sekitar kita,” ujarnya. Dia menyoroti banyaknya imam masjid yang membenarkan paham jihad sebagai perang dan kekerasan. “Tidak usah jauh-jauh, dengarkan saja bagaimana ceramah Jumat di sebagian masjid di Jakarta,” katanya.
Sumber: tempointeraktif.com
0 komentar:
Posting Komentar