RANGKAIAN teror di negeri ini terus sambung-menyambung menjadi satu (pinjam salah satu syair lagu ”Dari Sabang sampai Merauke”). Yang cukup menyedihkan, para pelaku teror adalah kaum muda, bahkan banyak yang masih anak batu gede (ABG).
Ada tesis yang mengatakan anak muda yang masih ”kosong” pikirannya, serta tidak memiliki pekerjaan yang tetap, maka akan mudah ”diisi” oleh kepentingan ideologis. KH Sahal Mahfudz juga mengatakan, jika seseorang memiliki pekerjaan, maka ia tidak akan berpikir macam-macam (SM,18/8/2009).
Kalau ini benar, maka tantangan pemerintah adalah bagaimana memanusiakan kaum muda seperti itu. Mereka adalah sosok yang masih dalam pertumbuhan fisik, emosi, dan cara pemikirannya.
Yang menjadi masalah kaum muda 2000-an, saat ini mereka menghadapi penjajahan baru yang tidak kasat mata, baik di bidang ekonomi, sosial, maupun budaya. Penjajahan baru tersebut terjadi, baik melalui pergaulan langsung, atau lewat ”brain washing” dari media televisi. Akibatnya kini kaum muda menghadapi apa yang disebut proses marginalisasi.
Marginalisasi kaum muda berjalan pasti, baik secara pasif atau secara aktif. Marginalisasi pasif terjadi manakala kaum muda mengalami kesulitan untuk mengaktualisasikan diri karena saluran komunikasi tertutup. Adapun marginalisasi aktif terjadi ketika kaum muda tidak memiliki memiliki pekerjaan dan tidak memiliki akses informasi yang dapat dimanfaatkan untuk sekadar memenuhi kebutuhan yang paling dasar sekalipun.
Ledakan penduduk yang makin besar dan di sisi lain kekuatan ekonomi dimonopoli oleh kekuatan modal besar dengan memanfaatkan teknologi canggih, menyebabkan gelombang pengangguran dan pemiskinan yang cukup mengkhawatirkan.
Angka nasional menunjukkan bahwa pengangguran pascakrisis terus meningkat, dari 8,1 persen (2001) dan 10,5 persen (2006).
Sumber: suaramerdeka.com
0 komentar:
Posting Komentar