Sewaktu menderita tifus, Alvin (bukan nama asli), diresepkan dokter minum obat antibiotik bernama kloramfenikol. Obat itu harus diminum empat kali sehari selama dua pekan hingga dia bebas demam. Ternyata baru sepekan minum obat, pria berusia 21 tahun ini sudah pulih. Dia tak lagi menyentuh antibiotik, tapi dalam setahun penyakitnya kambuh lagi. Namun, ia malas memeriksakan diri ke dokter. Ia merasa cukup dengan menebus kopi resep lama di apotek dekat rumah.
Pola pengobatan sendiri atau swamedikasi ini mudah ditemukan di masyarakat. Serupa juga dengan penanganan gangguan pada mata, seperti mata merah. Meski mata si A dan B tampak sama merah, yang satu bisa diakibatkan oleh debu dan yang satu bisa diakibatkan oleh virus. Maka obatnya pun berlainan. Menurut praktisi kesehatan, dokter Handrawan Nadesul, kerugian bisa muncul karena swamedikasi.
Handrawan menjelaskan, meski obatnya sama, dosis sama, dan untuk penyakit yang sama, tapi belum tentu respons tubuh sama. "Fisiologis tubuh itu berubah-ubah,"ujarnya dalam kelas jurnalis bertajuk "Pemakaian Obat Keras di Masyarakat" di Hotel Sahid Jaya pekan silam.
Seperti diketahui, obat antibiotik dan tetes mata digolongkan sebagai obat keras. Definisi obat keras adalah obat yang berkhasiat kuat dan penggunaannya mesti dengan resep dokter. Obat ini memakai tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K di dalamnya. Yang termasuk dalam golongan ini adalah antibiotik, seperti kloramfenikol, tetrasiklin, dan penisilin, serta obat-obatan untuk diabetes melitus, obat penenang, atau obat yang mengandung hormon.
Saat ini banyak sekali penyalahgunaan obat keras. Hal ini didukung juga oleh pihak apotek yang dengan mudah melayani pembelian obat keras tanpa resep dokter atau kopian resep dokter. Handrawan menyebutkan, dokter memilih jalan pintas agar pasien cepat sembuh. Yang penting, minum obat sekali, dan semua keluhan langsung hilang. "Dengan begitu, pasien menjadi puas," tutur dokter yang doyan menulis puisi ini.
Pasien memang berburu dokter yang memberi obat cuma sekali dan langsung sembuh, sehingga dokter berlomba memberi obat yang paling kuat agar pasien lekas sembuh. Apalagi sang dokter--khususnya di Indonesia--menangani terlalu banyak pasien. Waktu untuk melakukan anamnesis--komunikasi pasien dengan dokter--yang intens pun sangat minim. "Pasien belum duduk, resep obat sudah jadi," ujar Handrawan.
Di sisi lain, industri medis mendorong dokter berpikir bisnis. Sebaliknya, pasien dalam posisi yang menerima. Karena itu, berapa pun harga obat yang diberi dokter, kalau pasien mampu, mereka akan membelinya. Masyarakat harus pintar. Handrawan berpesan, yang harus dicari masyarakat adalah resep dengan sedikit obat, sedikit dosis, dan murah harganya.
"Obat yang terlalu tinggi harganya, selain membebani kantong, menyebabkan tubuh memikul efek samping yang sebetulnya tidak perlu," tutur Handrawan. Ia menyebutkan, pemakaian obat keras secara sembarangan bisa meracuni tubuh, memperparah penyakit, bahkan menyebabkan kematian.
Sebagai contoh pasien penyakit mag. Pengobatan sakit mag itu bikin pusing, mual, dan lemas. Semua keluhan itu, menurut dokter berusia 60 tahun ini, tidak perlu diberikan obat. Bayangkan, berapa banyak obat yang diberikan kalau setiap keluhan diobati. "Itu yang disebut polifarmasi atau resep berlebihan." Sebenarnya cukup obat mag saja, karena apinya ada di lambung. Untuk memadamkan api, cukup diberi obat mag yang tepat.
Handrawan menyatakan perhitungan manfaat dan risiko harus menjadi dasar pertimbangan dokter dalam menulis resep yang rasional. Sikap polifarmasi--memberi obat secara berlebihan--dalam menulis resep adalah bagian dari industri medis. Menurut dokter ramah ini, kasus iatrogenic (gangguan kesehatan akibat kekeliruan layanan medis) berpotensi muncul dari kelalaian menulis resep yang tidak rasional. Termasuk munculnya kasus adiksi terhadap obat.
Menurut Handrawan, pasien mempunyai hak bertanya ke dokter. Dokter pun seharusnya mengkomunikasikan obat dan efek sampingnya kepada si pasien. Hanya, hal itu jarang terjadi di negeri ini. Malah dokter dan pasien cenderung tidak kenal. Pasien juga kerap berpindah-pindah dokter. Banyak pasien tak punya catatan kesehatan, apakah memiliki riwayat diabetes atau epilepsi. Padahal hal ini menjadi pertimbangan dalam pemberian obat.
Jangankan obat etikal yang harus ditebus dengan resep dokter, obat warung saja perlu perhatian. Apalagi sampai diperlakukan bak kacang goreng. Rata-rata masyarakat mudah sekali mengkonsumsi obat padahal tidak perlu. Handrawan mengungkapkan, tubuh memiliki otoregulasi otomatis untuk memulihkan kondisinya bila mengalami ketidakseimbangan. Jadi biarkan tubuh melaksanakan tugas mekanisme pemulihan diri. Ia menyatakan intervensi obat yang cepat, selain merugikan secara ekonomis, membuat dampak fisiologis yang tidak perlu menjadi beban dalam tubuh pasien. "Kalau bisa tanpa obat, mengapa harus memilih dengan obat?"
Menyikapi Obat
1. Tidak memperlakukan obat bak kacang goreng.
2. Berhenti minum obat kalau tidak kunjung sembuh atau penyakit malah makin parah.
3. Antibiotik harus dihabiskan dan tidak membelinya separuh resep.
4. Seringan-ringannya obat, tentu ada efek samping, apalagi obat keras.
5. Menjadi racun bila tidak tepat dan salah penggunaannya.
Sederet Pandangan Keliru
1. Makin tokcer obat, makin tergolong hebat.
2. Obat generik adalah obat kelas dua.
3. Harga obat menentukan kualitas.
4. Keluhan dan gejala yang sama bisa ditangani oleh obat yang sama.
5. Melanjutkan sendiri pemakaian obat untuk penyakit menahun.
6. Semua kasus hipertensi atau diabetes sama obatnya.
Jenis Obat
1. Obat daftar G = Etikal = obat keras (huruf K lingkaran merah)
2. Obat warung (OTC-over the counter)
3. Obat bebas (lingkaran hijau)
4. Obat bebas Terbatas (lingkaran biru)
5. Ada tanda huruf P (Perhatian) untuk baca aturan-untuk pemakaian luar-untuk tidak ditelan-untuk dibakar-untuk wasir
6. Obat yang sangat diawasi (daftar O)
Sumber: tempointeraktif.com
0 komentar:
Posting Komentar