Bulan Ramadan, yang dimulai hari ini, selayaknya jadi momentum penting bagi bangsa Indonesia untuk menata diri. Banyak peristiwa besar terjadi tahun ini—yang sebagian sejatinya tak diharapkan terjadi. Beragam kejadian itu sedikitbanyak telah menimbulkan ekses, yakni munculnya benih keretakan di antara sesama elemen bangsa. Sungguh sayang jika bulan puasa tidak dimanfaatkan untuk menimba sebanyak mungkin amal kebaikan, termasuk menguatkan lagi silaturahmi keindonesiaan kita.
Salah satu peristiwa besar itu adalah pemilu legislatif dan pemilihan presiden. Tak pelak, selama berbulan-bulan, energi elite politik dan masyarakat terkuras dalam pertarungan politik. Tentu berbagai gesekan terjadi, entah itu di antara sesama elite politik, di antara anggota masyarakat, atau benturan antara elite politik dan masyarakat.
Dan saat ini, ketika hasil pemilihan presiden sudah dinyatakan final, sebagian luka itu belum juga pulih. Percikan ketidakpuasan masih meletup, baik ditunjukkan secara terbuka maupun diekspresikan dalam media alternatif—misalnya di ranah maya— dengan kadar kebencian yang masih tinggi. Betapa indahnya jika setiap kalangan mampu bersikap wajar dan normal kembali begitu pertarungan politik usai. Kebersamaan kembali dijalin dan kebencian dipupus.
Momentum untuk kembali merasa satu bangsa itu sebenarnya sempat muncul justru ketika negeri ini kembali diguncang bom pada pertengahan Juli lalu. Semua kalangan dari berbagai lapisan saling menguatkan untuk melawan aksi terorisme. Sebuah kampanye juga digemakan guna menundukkan rasa takut.
Sayangnya, ketika perasaan bersatu itu mulai menjalar, benih-benih perpecahan malah dimunculkan lagi. Ironisnya, pemicu hal itu justru datang dari petinggi keamanan sendiri. Pejabat keamanan di Jawa Tengah mengimbau masyarakat melapor kepada polisi jika melihat orang berbusana gamis, bersorban, dan memelihara jenggot. Imbauan ini dikeluarkan merujuk pada pelaku terorisme, yang umumnya berpenampilan fisik seperti itu.
Penangkapan pun dilakukan terhadap belasan anggota jemaah tablig di Jawa Tengah yang sedang menjalankan amalan khuruj (perjalanan dakwah dari masjid ke masjid). Hal ini juga menimbulkan rasa curiga di kalangan khalayak. Setiap komunitas masyarakat mulai berprasangka kepada setiap orang—dikenal atau tidak—yang mengenakan jubah dan memelihara jenggot.
Sikap saling curiga itu sudah ada sebelumnya, mengingat ada saja anggota masyarakat yang tak menentang terorisme. Masih ada segelintir orang yang menganggap para teroris sebagai mujahid. Dus, mereka dianggap sebagai pahlawan. Maka komplet sudah, bara curiga yang sudah hangat itu menyala kian besar setelah dikipasi aparat keamanan.
Mumpung belum telanjur, keretakan itu mesti segera diatasi. Benih-benih kebencian dan rasa curiga harus dibenamkan sampai ke dasar. Ramadan sesungguhnya membawa pesan damai. Maka kini waktu yang sangat afdol untuk memperbaiki hubungan sosial dan politik.
Sumber: tempointeraktif.com
0 komentar:
Posting Komentar