Ada yang berbeda dari sosok Mbah Surip. Ia memang masih berambut gimbal, bertopi, dan menggendong gitar butut. Namun, hidung Mbah Surip kini panjang, tak lagi pesek seperti biasanya.
Di tangan perupa Felix S. Wanto, 44 tahun, wajah Mbah Surip sengaja dibuat mirip tokoh punakawan Petruk. Sebab, lukisan dengan cat akrilik berjudul Nagih Janji itu memang sengaja diciptakan Felix untuk sebuah pameran bersama bertajuk "Petruk Nagih Janji" di Bentara Budaya Yogyakarta, 19-29 Agustus 2009.
Tema pameran "Petruk Nagih Janji" sengaja dipilih Bentara Budaya Yogyakarta sebagai respons atas usainya pesta demokrasi di Indonesia, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Banyak janji ditebar selama masa kampanye pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Maka Petruk--sebagai representasi wong cilik--giliran menagih janji-janji itu.
"Petruk adalah penantian. Karena itu, ia tidak dapat mati. Jagat raya berjalan dari zaman ke zaman, dari kerajaan ke kerajaan, dari penguasa ke penguasa, dan Petruk selalu ada di sana, menanti karena janji, baginya, belum dipenuhi," Sindhunata menuliskan dalam kuratorial pameran.
Bentara Budaya Yogyakarta kemudian menggandeng 18 perupa untuk memvisualkan ekspresi wong cilik ketika menagih janji. Perupa Felix S. Wanto, misalnya, mengambil sosok Mbah Surip sebagai representasi nasib tragis wong cilik yang selalu dibohongi oleh janji-janji.
"Mbah Surip, si Petruk kecil, ternyata ke mana-mana hanya menggendong harapan yang tak pernah menjadi kenyataan. Sebab, di negeri ini memang wong cilik selalu dijanjeni dan diberi mimpi," katanya.
Namun, tidak selamanya wong cilik hanya bisa pasrah. Menurut perupa Subandi Giyanto, 51 tahun, wong cilik bisa menjadi amat marah karena terus-menerus dibohongi. Jika wong cilik marah, ia bisa merusak apa saja, termasuk membikin para dewa lari tunggang-langgang.
Kemarahan wong cilik itu digambarkan Subandi melalui lukisan bergaya dekoratif wayang berjudul Petruk Nagih Janji. Petruk yang dalam kondisi marah digambarkan berubah menjadi sosok raksasa yang amat menakutkan. Bagong, saudara kandungnya, nyaris menjadi korban. Gareng tak kuasa menahan kemarahan Petruk, sementara Togog dan Bilung memilih lari. Para dewa di kahyangan juga lari tunggang-langgang setelah melihat kemarahan Petruk.
"Seorang pemimpin harus berpegang teguh pada apa yang diucapkan. Apabila tidak, rakyat marah. Apabila rakyat marah, maka rusaklah tatanan hidup. Sebab, semua akan menggunakan aturannya sendiri," kata Subandi.
Tidak selamanya wong cilik marah. Yang paling banyak terjadi adalah sumpah serapah ketika wong cilik sadar hanya menjadi korban janji palsu para (calon) pemimpin. Hal inilah yang diekspresikan Kelompok Hitam Manis dalam karya instalasinya yang berjudul Sumpah Serapah.
Kelompok Hitam Manis terdiri atas perupa Putu Sutawijaya, I Wayan Agus Novianto, I Nyoman Adiana, I Nyoman Agus Wijaya, Maslihar aka Panjul, Robert Kan, dan Yoyok Sahaja. Mereka membuat sebuah patung wajah berhidung panjang dengan bahan pelat besi yang dilas. Dari mulutnya yang menganga lebar, meluncurlah aneka huruf dan angka hingga bertebaran ke segala arah.
Tidak semua perupa memunculkan sosok Petruk. Perupa Lulus Santosa, 42 tahun, justru menampilkan seekor anjing yang sedang duduk di sebelah kipas angin pada karyanya yang berjudul Makan Angin. Menurut Lulus, wong cilik akan selalu menelan janji kosong alias makan angin atas janji-janji yang disampaikan para pemimpin.
Sosok anjing juga dimunculkan perupa Heri Dono, 49 tahun, dalam lukisan berjudul Kampanye Partai Binatang. Heri menampilkan sesosok makhluk berkaki empat yang sedang berpidato berapi-api di atas mimbar. Tangan kirinya menuding ke udara, sedangkan tangan kanannya memegang bendera yang berkibar tertiup angin. Ratusan anjing dengan lidah terjulur mendengarkan pidato di atas mimbar.
Lain lagi yang dilakukan Terra Bajraghosa, 28 tahun. Staf pengajar desain komunikasi visual di Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini justru membuat karya animasi berjudul Kata-kata Bijak. Kali ini Terra tetap menggunakan tokoh Petruk dengan "Pilox Ajaib"-nya untuk merespons aneka janji para pemimpin yang dilansir di sejumlah media massa.
Terra dengan tokoh Petruk dan "Pilox Ajaib"-nya merespons janji-janji para pejabat dengan cara mengubah atau menambahinya, sehingga sejumlah janji itu menjadi kata-kata yang absurd atau lucu. Contohnya Petruk bertemu dengan sederet kalimat "Melanjutkan pengobatan gratis bagi yang tidak mampu." Dengan "Pilox Ajaib"-nya, Petruk kemudian menuliskan kata-kata, "Yang ngobatin Tuhan ya jelas gratis. Tapi, obat tetep beli, dokter tetep bayar."
Ada belasan kalimat janji yang direspons Petruk dengan "Pilox Ajaib"-nya. Selain masalah pengobatan gratis, Terra menyinggung soal janji pemimpin bangsa agar tidak lagi terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di negeri ini. Petruk dengan "Pilox Ajaib"-nya kemudian menggambar wajah aktivis HAM Munir dan kalimat "Aah, tenane. Jangan ngapusi," sebagai respons atas janji itu.
Pesan yang hendak disampaikan Terra Bajraghosa melalui karya animasinya ini adalah "Jangan janji sembarang janji," seperti tertulis pada bagian akhir karyanya itu.
Pepatah "janji adalah utang" barangkali memang tidak masuk benak para politikus dan calon pemimpin ketika berkampanye. Namun, Petruk, sebagai sosok lintas zaman, akan terus menagihnya karena janji telah telanjur terucap.
Sumber: tempointeraktif.com
0 komentar:
Posting Komentar