Justru pada saat bangsa ini memperingati HUT Kemerdekaan yang ke 64 terjadi insiden yang sangat memalukan di DPR. Peristiwa itu terjadi pada Sidang Paripurna dengan agenda Pidato Kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 14 Agustus lalu yakni tidak diperdengarkannya lagu kebangsaan Indonesia Raya pada saat pembukaan. Tentu ini menjadi noda hitam dalam sejarah dan tidak akan pernah bisa dilupakan karena pastilah tidak bisa dimaknai hanya sekadar masalah teknis semata.
Adakah insiden itu bisa dijadikan pertanda mulai melunturnya nasionalisme kita? Yang jelas keprihatinan terhadap melunturnya semangat kebangsaan sudah banyak dirasakan. Pada saat yang sama Indonesia makin menjadi ladang subur teroris. Betapa lemah ketahanan kita di tengah gejolak global baik dalam politik, ekonomi dan keamanan. Betapa lemah dan tidak berdayanya kita menghadapi kekuatan kapitalisme global. Sementara di dalam negeri kultur dan jatidiri bangsa itu dirasakan semakin keropos.
Secara ekonomi, bangsa ini tidak pantas untuk merasa rendah diri. Namun secara geopolitik maupun moral, rasanya kita perlu semakin mawas diri. Ukurannya seberapa besar tanggung jawab kita terhadap kepentingan dan kemajuan bangsa dibandingkan dengan kepentingan individu. Moralitas bangsa yang masih mendukung suburnya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) adalah kelemahan mendasar. Sementara tanggung jawab yang lebih besar seringkali dikorbankan atas nama kepentingan sempit.
Nasionalisme adalah sebuah nilai pengikat yang harus terus kuat dipegang tetapi semua itu sangat tergantung pada persoalan empirik seperti keadilan dan kesejahteraan. Bagaimana mewujudkan pengurangan kemiskinan dan di sisi lain menciptakan banyak tenaga kerja misalnya, adalah upaya strategis untuk mempertahankannya. Karena kalau yang terjadi sebaliknya maka itulah awal merosotnya semangat itu. Rakyat merasa belum diberikan hak-hak konstitusinya dan berjarak dengan pemimpinnya.
Kita memerlukan reorientasi dan reaktualisasi dengan melihat tantangan zaman. Sudah bukan masanya lagi sekadar meneriakkan slogan kosong. Dibutuhkan keteladanan pemimpin. Dibutuhkan tanggung jawab riil mereka untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat. Hanya dengan itulah maka rakyat masih akan merasa menjadi bagian dari bangsa ini. Justru di situlah kita sekarang merasa sangat kurang. Pada saat yang sama sistem pendidikan justru semakin mengurangi pembekalan nilai-nilai moral dan etika kebangsaan.
Kita masih bersyukur karena bangsa ini masih berjalan pada arah yang benar terutama setelah era reformasi. Demokrasi dan penegakan hukum semakin diandalkan namun sangat memerlukan konsistensi dan revitalisasi. Kalau sekarang dikatakan perlu adanya reorientasi dan reaktualisasi nasionalisme tidak lain untuk mengevaluasi dan kemudian merumuskan langkah-langkah ke depan yang lebih baik. Tidak pernah ada kata terlambat tetapi juga tak akan pernah dimulai kalau ternyata kelemahan kultural masih melekat.
Sumber: suaramerdeka.com
0 komentar:
Posting Komentar