Jumat, 04 September 2009

Stop Perpeloncoan

Berapa lagi korban harus jatuh agar perpeloncoan benar-benar dihentikan? Selama puluhan tahun sudah tak terhitung banyaknya anak muda yang tewas sia-sia akibat kegiatan absurd ini. Kematian Hendra Saputra, mahasiswa Akademi Teknik dan Keselamatan Penerbangan (ATKP) Medan, baru-baru ini hanya menambah panjang daftar pilu.


Pemuda 17 tahun itu tewas mengenaskan. Menurut ibunya, Hendra ada kemungkinan dianiaya. Sebab, di atas alis mata sebelah kiri koyak dan matanya membiru. Hidung juga terlihat lebam. Tulang lehernya diduga patah sehingga kepalanya tak bisa diluruskan. Kasus yang sempat ditutup-tutupi ini sekarang tengah diusut oleh polisi dengan memanggil pimpinan ATKP.

Tragedi Hendra jelas tak bisa dibiarkan. Kami juga tidak bosan mengingatkan agar perpeloncoan disetop. Pemerintah mesti tegas memberangus kegiatan pengenalan kampus atau sekolah yang cuma jadi ajang kesewenang-wenangan senior kepada juniornya. Kekerasan fisik jelas bukan bagian dari kegiatan pendidikan dan pengajaran.

Mahasiswa baru memang perlu menjalani orientasi agar menyadari cara belajar dan kultur akademik di kampus sangat berbeda dengan di sekolah lanjutan atas. Mereka perlu mengetahui cara berinteraksi dengan dosen, mencari literatur di perpustakaan, atau mengenal lembaga-lembaga riset yang ada di kampus.

Hanya, pengenalan itu mestinya dilakukan dengan cara cerdas dan lewat arahan jelas dari pimpinan kampus. Mahasiswa baru, misalnya, bisa disuruh ke lapangan untuk saling berkenalan, berlatih mewawancarai orang, berlatih memimpin, berseminar, berdiskusi, dan berdialog. Cara seperti inilah yang dilakukan di kampus negara-negara maju.

Sungguh berbahaya jika kegiatan pengenalan kampus diserahkan sepenuhnya kepada mahasiswa senior. Faktor usia yang masih belia dan minimnya pengetahuan membuat kegiatan orientasi tergelincir menjadi kekerasan fisik. Mahasiswa barulah yang jadi korban. Mereka mengalami penyiksaan jiwa dengan dipaksa berpakaian dan berpotongan rambut aneh. Atas nama latihan ketahanan mental dan fisik, mereka juga harus sanggup berjemur di tempat panas, berjalan jongkok, dan push up, bahkan tak jarang menerima ayunan tangan dan kaki para senior.

Kegiatan perpeloncoan makin mencemaskan karena belakangan sudah merambah ke tingkat sekolah menengah, bahkan sekolah dasar. Bisa dibayangkan, kerusakan dan kerugian akibat kegiatan salah kaprah itu niscaya akan makin menjadi.

Sebetulnya pemerintah sudah melarang kegiatan perpeloncoan, seperti tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 38 Tahun 2000. Aturan itu menegaskan, kegiatan pengenalan kampus hanya boleh dilakukan dalam rangka kegiatan akademik dan dilaksanakan pimpinan perguruan tinggi.

Pelanggaran atas ketentuan ini dapat dikenai sanksi sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. Pelakunya dapat dikenai hukuman pidana. Aturan yang sudah baik ini tinggal ditegakkan tanpa pandang bulu. Dengan penegakan hukum yang tegas, lambat-laun kultur perpeloncoan yang dangkal pasti akan berakhir.

Sumber: tempointeraktif.com

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites