Rabu, 02 September 2009

Iman, Puasa, dan Antikorupsi

Semarak puasa Ramadan tersebut mengapa kontras dengan realitas kehidupan pasca-Ramadan? Mengapa korupsi dari tahun ke tahun semakin meningkat? Bahkan ada yang berpendapat korupsi tidak mungkin bisa diberantas karena sudah menjadi budaya?


APA hubungan puasa dengan korupsi? Sepintas tidak ada. Namun jika dikaji secara mendalam, hubungan puasa dengan jiwa antikorupsi sangat erat. Memang tidak semua puasa bisa mengantarkan pelakunya untuk berjiwa antikorupsi. Lalu puasa yang bagaimana yang bisa menumbuhkan jiwa antikorupsi?

Untuk membuktikan ada hubungan antara puasa dengan jiwa antikorupsi dapat dirunut dari dasar-dasar agama dan logika keagamaan. Pertama, mengapa puasa Ramadan hanya diwajibkan bagi orang-orang yang beriman dan bukan kepada semua orang beragama? Ada misteri apa di balik perintah tersebut? Untuk menjawab misteri itu kita perlu menggali tradisi spiritual para sufi.

Menurut para ahli sufi banyak orang yang beragama tetapi sedikit yang beriman. Hanya orang yang benar-benar beriman yang bisa berpuasa dan diterima puasanya. Ucapan para sufi itu didasarkan pada hadis Nabi Muhammad bahwa banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga.

Mengapa bisa seperti itu? Tidak lain dan tidak bukan karena puasa yang dilakukan kaum beragama sering tidak memenuhi standar mutu baku yang ditetapkan oleh Allah. Allah memerintahkan berpuasa agar mengurangi makan dan bisa merasakan penderitaan orang lain.

Namun banyak orang yang berpuasa justru ingin makan yang enak-enak, lezat-lezat, dan berbuka dengan semeja penuh hidangan. Apa puasa yang seperti ini akan diterima di sisi Allah?

Kedua, bagi orang yang beriman harta itu bisa melupakan manusia untuk mengingat Allah. Bagi orang yang beriman tidak memiliki hasrat untuk menguasai harta terlalu banyak yang penting cukup untuk bekal hidup.

Mereka tidak ingin hidup bermegah-megahan. Jangankan untuk merampas harta orang lain diberi uang, makanan, minuman, tempat tinggal dan fasilitas lain yang bukan miliknya akan ditolak.

Bahkan untuk menikmati harta miliknya saja berhati-hati, jangan terlalu kenyang makan, masih banyak orang miskin yang perlu disantuni. Kalau kekurangan mereka lebih baik berpuasa daripada harus meminta-minta apalagi merampas, mencuri, dan memanipulasi sesuatu untuk mendapatkan yang bukan miliknya.

Kejujuran

Ketiga, sisi kejujuran. Orang yang beriman hanya berkata yang hak kecuali itu tidak. Mereka tidak pandai bersilat lidah, membolak-balik omongan, berargumentasi biar kelihatan intelek dan terdidik. Hidupnya polos dan tidak neko-neko. Apa yang dikatakan itulah yang ada dalam hati dan perbuatannya. Mereka tidak bisa berbicara lain di mulut lain di hati. Kejujuran selalu menjadi pakaian mereka.

Keempat, Mencari rida Allah. Puasa diorientasikan untuk mencari rida Allah. Di dunia ini hanya orang-orang yang beriman yang bisa mengerjakan sesuatu untuk semata-mata mencari rida-Nya.

Bagi orang yang beriman mereka mengerjakan sesuatu bukan untuk dipuji manusia, mendapatkan imbalan surga dan selamat dari nereka, mendapatkan imbalan rezeki yang lebih banyak dan lain-lain.

Yang mereka tangisi dan selalu diminta setiap detik dan setiap sujut rukuk kepada Allah adalah rida-Nya. Surga, rezeki, dan neraka itu makhluk Allah. Manusia derajatnya di atas makhluk yang lain. Karena itu terlalu rendah bagi orang yang beriman meminta surga, rezeki, dan selamat dari neraka.

Derajat manusia yang beriman hanya layak meminta rida-Nya. Kalau seseorang sudah mendapatkan rida-Nya tidak perlu meminta surga, rezeki dan selamat dari nereka. Semua yang diinginkan bahkan yang tidak diinginkan sekali pun terhadap hal-hal yang baik dan penuh kenikmatan akan diterimanya atas rida dan izin-Nya.

Tidak Korup

Pertanyaan kita adalah benarkah umat Islam di Indonesia ini sudah benar-benar beriman dan bisa berpuasa? Atau apakah kita ini sebenarnya hanya berpura-pura beriman saja sehingga puasa kita berpura-pura juga?

Apakah kita selama ini berpura-pura baik kepada Allah pada bulan puasa dan setelah itu tidak perlu berbuat baik lagi? Apakah kita berpura-pura berpuasa demi untuk menghormati bulan puasa dan agar disebut orang muslim yang taat namun di lubik hati kita yang paling dalam tidak ada niatan untuk sungguh-sungguh berpuasa?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut layak kita kedepankan sebagai refleksi diri agar kita ini tidak menjadi orang yang merugi. Pertanyaan ini muncul ke permukaan karena setiap tahun puasa dilaksanakan secara meriah, penuh semangat. Saking semangat banyak pihak merazia warung-warung makan yang buka pada siang hari demi menghormati orang yang berpuasa.

Kontras

Tarawih dilaksanakan secara bejubel. Masjid-masjid dan mushala penuh. Kantor-Kantor instansi banyak yang disulap menjadi tempat tarawih. Acara televisi sebulan penuh menayangkan menu-menu siraman rohani. Sinetron religius dan lagu-lagu keagamaan tak henti-hentinya menghiasai tayangan televisi. Lalu kurang apalagi?

Semarak puasa Ramadan tersebut mengapa kontras dengan realitas kehidupan pasca-Ramadan? Mengapa korupsi dari tahun ke tahun semakin meningkat? Bahkan ada yang berpendapat korupsi tidak mungkin bisa diberantas karena sudah menjadi budaya? Jika demikian adanya lalu apa makna berpuasa kita, tarawih dan pengajian-pengajian kita? Apakah puasa kita selama ini berpura-pura saja atau justru berpuasa itu untuk menutupi korupsi kita?

Kalau puasa kita benar mengapa masih suka berbohong, menipu, rakus untuk merampas harta rakyat (korupsi), berkhianat, menyakiti perasaan orang lain yang tak bersalah dan lain-lain. Lalu apa yang kita cari dalam berpuasa? Idealnya kalau kita bisa benar-benar berpuasa maka tidak akan korupsi dalam segala bentuk. Sebab korupsi dalam segala bentuk adalah perbuatan dan perilaku orang yang tidak beriman (belum bisa berpuasa).

Sumber: suaramerdeka.com

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites