Sudah menjadi semacam konvensi, di setiap Ramadan umat Islam diseru untuk membayar zakat (fitrah dan mal) yang diperuntukkan bagi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tragedi zakat maut tahun lalu di Pasuruan adalah bukti konkret, betapa ibadah zakat begitu “populer” dan digemari elite hartawan maupun masyarakat miskin menjelang hari raya.
Secara normatif-teologis, Islam memang mewajibkan kalangan yang mampu untuk peduli dan membantu sesamanya yang kekurangan, melalui konsep zakat. Ini sekaligus menunjukkan keseriusan doktrin Islam terhadap upaya penciptaan keadilan sosial melalui ritual zakat. Secara aktual, keadilan sosial dapat diwujudkan dengan menciptakan tatanan sosial yang bebas dari praktek korupsi dan jauh dari “penyakit” kemiskinan. Lalu, sejauh mana relevansi dan signifikansi zakat jika dikaitkan dengan upaya pemberantasan korupsi dan pengentasan masyarakat miskin?
Pada prinsipnya, Islam tidak sekadar mengajarkan kepada pemeluknya untuk beribadah secara vertikal, tetapi juga sekaligus beribadah secara horizontal. Semua bentuk ritual dalam Islam, seperti salat, puasa, zakat, dan haji, memiliki dimensi individual dan dimensi sosial.
Karena itulah, Islam tidak hanya mengajarkan kepada pemeluknya untuk mementingkan dirinya sendiri menuju ke jalan rohani Tuhan, tetapi juga menginginkan pengikutnya menuju jalan sosial-kemanusiaan, sebagaimana tecermin dalam ajaran zakat. Ironisnya, makna zakat yang sarat muatan sosialnya itu acap kali disalahmanfaatkan oleh sebagian umat Islam, sehingga kehilangan makna substansialnya.
Pertama, zakat yang bermakna pensucian harta sering kali disalahartikan secara sepihak oleh orang-orang yang bergelimang harta dan para pejabat negara. Oleh mereka, zakat sekadar dijadikan cara untuk mensucikan hartanya yang telah diperoleh dari hasil korupsi dan praktek kemaksiatan lainnya. Karena itulah, zakat kehilangan makna substansialnya untuk mensucikan diri dari harta yang diperoleh dengan cara halal. Harta yang diperoleh dari praktek korupsi dianggap suci dan halal setelah dibayarkan zakatnya kepada kaum fakir-miskin. Inilah wujud pemahaman yang formalistik, lahiriah, dan tidak mengambil makna terdalam dari hakikat agama.
Padahal, harta yang diperoleh dari praktek korupsi selamanya tidak akan pernah tersucikan dengan hanya membayar zakat. Sebab, agama bukanlah sebagai pensucian terhadap segala praktek haram yang telah dilarang oleh agama itu sendiri. Lebih dari itu, agama justru memberikan justifikasi teologis bahwa orang yang telah melakukan korupsi mendapat laknat dari Tuhan dan tidak mendapat keberkahan dalam hartanya.
Kedua, korupsi sesungguhnya telah mengingkari makna ajaran zakat yang secara sosial bertujuan menciptakan keadilan sosial. Bukankah harta yang dikorupsi adalah uang rakyat, yang di dalamnya terdapat hak kaum fakir-miskin dan mereka yang perlu diberi perlindungan ekonomi? Di manakah letak kepedulian sosialnya jika ia mengkorupsi harta orang banyak demi memperkaya diri sendiri? Karena itulah, korupsi adalah salah satu bentuk penyimpangan sosial dari makna zakat yang bertujuan menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran.
Dalam konteks ini, korupsi berarti penindasan terhadap kaum lemah dan perampokan terhadap harta orang banyak. Di sinilah zakat memberikan motivasi teologis betapa harta kita hendaknya diperoleh dengan cara yang halal, bukan mengambil harta orang banyak dengan cara yang haram. Apa pun alasannya, jika harta kita tidak diperoleh dengan cara yang halal, meskipun telah dibayarkan zakatnya, tidak secara otomatis menjadi suci. Inilah yang mestinya kita sadari bersama bahwa makna ibadah zakat harus benar-benar dapat mensucikan harta dan menciptakan keadilan sosial. Zakat bukanlah sin and money laundering atas segala praktek haram.
Kemiskinan
Menurut para ulama, yang menjadi sasaran atau penerima utama zakat adalah fakir miskin (mustadh'afin). Zakat itu "diambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang-orang yang papa di antara mereka" (QS. 9:60). Dalam perspektif ekonomi, zakat merupakan tindakan pemindahan kekayaan dari yang kaya kepada yang tidak berpunya. Pengalihan kekayaan berarti pengalihan sumber-sumber ekonomi. Tindakan ini tentu akan mengakibatkan perubahan tertentu yang bersifat ekonomis. Misalnya, seseorang yang menerima zakat itu bisa mempergunakannya untuk kebutuhan yang bersifat konsumtif dan atau produktif.
Jika dicermati, sejatinya, dengan berzakat, kita dididik untuk mengembangkan sense of awareness terhadap derita rakyat miskin, yang kemudian melahirkan sikap empati dan simpati kepada mereka. Kalau boleh diilustrasikan, zakat itu ibarat the have, sementara rakyat miskin laksana the needy. Filsafat sosialnya menjadi afirmatif : the have harus memiliki ethical obligation kepada the needy. Dengan kata lain, ada kewajiban intrinsik yang bersifat moral-etis bagi si kaya kepada si miskin. Zakat, dengan demikian, dapat menyentuh, menyadarkan, sekaligus menumbuhkan semangat dan kewajiban moral-etik-kemanusiaan kita kepada rakyat miskin.
Pesan moral-kemanusiaan dari rangkaian ibadah zakat sebenarnya hendak melatih diri kita untuk sensitif terhadap realitas. Yakni, menjadi lebih peka dan sensitif terhadap realitas sosial di sekitar kita. Kemiskinan, kelaparan, dan ketidakadilan, yang selama ini dialami kaum tertindas baik secara ekonomis maupun politis, dengan demikian mendapatkan referensi, justifikasi, dan legitimasi dari ritual zakat. Karena itu, laku ritual zakat haruslah dikonfrontasikan dengan konteks, nuansa, dan alusi kesadaran untuk memperoleh maknanya sebagai pembacaan hermeneutik sosial dalam konstruksi pergumulan aktual kehidupan manusia yang nyata.
Ini berarti, setiap bentuk ritual dalam Islam (baca: zakat) mempunyai kapasitas sebagai refleksi kemanusiaan untuk menghidupkan kembali api dan semangat fitrah, bukan hanya dalam kesadaran subyektif, tetapi juga dalam kesadaran sejarah. Dari sinilah diharapkan zakat mampu menemukan makna-makna emansipatorisnya sebagai praksis pembebasan dan pengentasan masyarakat dari kemiskinan.
MAKSUN, Dosen IAIN Walisongo, Semarang
Sumber: tempointeraktif.com
0 komentar:
Posting Komentar