Guncangan bumi berkekuatan 7,3 skala Richter baru-baru ini kembali mengingatkan bahwa kita hidup di negeri rawan gempa. Pemerintah dan masyarakat perlu menyadari, bencana seperti ini akan selalu berulang setiap saat. Itulah pentingnya membangun budaya untuk siap mengantisipasi malapetaka.
Berpusat pada kedalaman 30 kilometer di Samudra Indonesia, sekitar 142 kilometer di barat daya Tasikmalaya, gempa itu mengguncang pada Rabu sore lalu. Daya rusaknya dirasakan sejumlah kabupaten di Jawa Barat. Ribuan rumah dan bangunan rusak berat, dan lebih dari 50 orang meninggal.
Harus diakui, setelah mengalami gempa dan tsunami yang mahadahsyat di Aceh pada 2004 dan gempa Yogyakarta 2006, masyarakat lebih waspada. Setidaknya, mulai ada sistem peringatan dini mengantisipasi tsunami. Warga yang tinggal di dekat pantai menyelamatkan diri ke daerah lebih tinggi begitu gempa terjadi. Untunglah, gempa yang dipicu oleh gesekan lempengan Indo-Australia kali ini tidak menimbulkan bah.
Bukan berarti kita telah siap hidup dalam ancaman bencana. Seperti yang terjadi dalam gempa sebelumnya, tetap saja pemerintah daerah lamban membantu para korban bencana. Mereka harus membentuk tim dulu, melakukan rapat-rapat, sebelum bergerak menolong korban.
Reaksi masyarakat dalam menghadapi gempa tidak selalu tepat. Mereka, misalnya, tidak mematikan kompor atau listrik sebelum melarikan diri ke luar rumah. Sebagian juga terlalu panik sehingga terluka atau bahkan meninggal bukan oleh guncangan itu sendiri melainkan karena terjatuh.
Jangankan penduduk di pelosok Tasikmalaya atau Cianjur, warga Jakarta yang juga terkena dampak gempa itu pun tak tahu pasti cara menyelamatkan diri ketika bumi bergetar. Umumnya mereka berhamburan keluar dari gedung-gedung tinggi. Padahal ini bukan cara penyelamatan yang efektif karena mereka justru akan tertimpa reruntuhan bila gedung itu benar-benar roboh. Akan lebih aman jika mereka berlindung di bagian gedung itu yang kukuh atau bersembunyi di bawah meja.
Itulah pentingnya membudayakan sikap siap menghadapi gempa. Masyarakat harus didorong, bahkan dilatih, agar mampu beraksi secara tepat saat bencana datang. Bahkan pengetahuan mengenai cara menghadapi gempa harus diberikan sejak masa kanak-kanak lewat pendidik di sekolah.
Masyarakat seharusnya pula memperhitungkan faktor gempa ketika membangun rumah. Ini bukanlah hal baru, karena nenek moyang telah mengajarkannya. Terbukti rumah-rumah tradisional di banyak daerah umumnya lebih tahan gempa karena bahan dan cara pembuatannya amat berbeda dengan rumah modern. Masyarakat akan lebih cepat berubah jika pemerintah daerah memasukkan persyaratan teknis antigempa ketika penduduk mengajukan izin mendirikan bangunan.
Kita tak bisa mengubah kenyataan bahwa negeri ini berada di pertemuan tiga lempeng dunia, yakni Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Inilah yang menyebabkan gempa tektonik terjadi hampir setiap hari, dan kita harus berkompromi.
Sumber: tempointeraktif.com
0 komentar:
Posting Komentar