Rencana pemerintah memperkuat peran Badan Intelijen Negara dalam memerangi terorisme harus disikapi hati-hati. Memperkuat peran intelijen memang penting. Apalagi kemampuan intelijen memprediksi aksi teror belakang ini amat lemah. Tapi memperkuat peran BIN secara berlebihan juga berbahaya. Salah-salah, kita akan kembali masuk ke zaman ketika intelijen sembarangan menangkap orang tanpa bukti dan alasan kuat.
Keinginan memperkuat peran intelijen itu muncul dari hasil dengar pendapat Komisi I DPR dengan pemerintah dua hari yang lalu. Hasil rapat menyimpulkan, agar peran intelijen lebih besar, Undang-Undang Antiteror harus diamendemen. Undang-undang ini dianggap terlalu membatasi peran dinas intelijen. BIN, misalnya, tak boleh melakukan penangkapan sendiri. Penangkapan hanya wewenang polisi. Dengan amendemen, diharapkan peran BIN lebih luas dari sekadar pemberi informasi.
Sebetulnya bukan hanya peran BIN yang dianggap terbatas. Pemerintah juga berharap TNI bisa dilibatkan dalam pemberantasan terorisme. Pertimbangannya, tiap angkatan di TNI memiliki pasukan antiteror yang keandalannya tak diragukan. Namun, tampaknya rapat dengar pendapat sepakat berfokus bahwa amandemen nantinya hanya pada upaya memperkuat peran polisi dan dinas intelijen.
Ihwal memperkuat peran BIN, ini sebetulnya gagasan lama. Pada masa BIN dipimpin Hendropriyono, gagasan ini sudah gencar diusulkan. Bahkan saat itu gagasan yang dituangkan dalam bentuk draf RUU Intelijen sangat radikal. BIN, misalnya, diusulkan boleh menahan seseorang sampai total selama 180 hari, tanpa boleh ditengok, juga tak boleh didampingi pengacara.
Untunglah gagasan itu tak terealisasi. Usulan seperti ini sebetulnya mengabaikan bahwa BIN adalah badan intelijen non-yudisial. Tugas BIN bukanlah dalam kerangka penegakan hukum (judicial investigation). Tugas seperti itu menjadi tanggung jawab polisi dan jaksa yang masing-masing juga memiliki organ intelijen.
Itu sebabnya, jika nanti peran BIN diperkuat, harus tetap dalam kerangka fungsi BIN sebagai lembaga non-yudisial. BIN tidak boleh mengambil alih tugas lembaga yudisial, seperti polisi dan kejaksaan. Jika menjarah fungsi lembaga yang sudah ada, ada risiko tumpang-tindih kewenangan. Bahkan risiko lebih buruk bisa terjadi, yaitu munculnya persaingan dalam menangkap dan menahan orang-orang yang belum tentu bersalah.
Kalaupun hendak memperkuat BIN dalam menangani terorisme, masih ada cara lain. Misalnya, memasukkan BIN bersama institusi intelijen lain dalam sebuah badan antiteror yang tidak bersifat ad hoc dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Inilah badan yang bertugas mendeteksi, mencegah, dan menangani aksi-aksi teror. Di dalam badan ini pula bergabung berbagai kesatuan antiteror TNI dan Polri.
Karena bertanggung jawab langsung kepada presiden, kontrol lebih mudah dilakukan. Persaingan antarkesatuan dan organisasi pun terminimalkan. Dengan pembentukan badan seperti ini, peran dinas intelijen dan detasemen antiteror berbagai kesatuan bisa lebih optimal
Sumber: tempointeraktif.com
0 komentar:
Posting Komentar