Setiap bulan puasa tiba, ada fakta yang menarik. Sebuah gereja di Solo rutin memberikan makanan buka puasa untuk orang-orang muslim. Maklum, gereja tersebut berdampingan dengan masjid.
Pada saat bersamaan pula, setiap bulan puasa, penulis kerap diundang oleh keluarga Bapak Suprijanto, yang beragama Katolik, untuk berbuka puasa. Turut hadir pula sejumlah teman muslim lainnya dalam acara ramah-tamah tersebut. Buka puasa tahun ini dilakukan di rumahnya yang asri di Bogor.
Bagi penulis, fenomena tersebut merupakan salah satu khazanah keindonesiaan yang sangat berharga, yakni perbedaan agama pada hakikatnya bukanlah hambatan untuk membangun jembatan toleransi. Penulis yakin bahwa orang-orang nonmuslim, khususnya Kristiani, bukanlah musuh bagi umat Islam. Mereka adalah orang-orang yang tulus dalam membangun kebersamaan untuk keindonesiaan yang adil, damai, dan beradab.
Puasa adalah momen yang mana setiap orang berlomba-lomba untuk mengutamakan kebaikan. Sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran, yakni puasa tidak hanya rukun yang dilaksanakan oleh orang-orang muslim, tapi juga orang-orang yang hidup sebelum Islam datang. Tidak terkecuali kalangan Kristiani, yang mempunyai tradisi berpuasa pula.
Maka, jika ada orang-orang nonmuslim yang mempunyai kepedulian untuk menghargai orang-orang muslim yang berpuasa, hal itu tidak lain sebagai bukti kesetiaan mereka kepada agama dan kecintaan pada sesama warga negara yang telah bersama-sama membangun negeri ini.
Dalam hal ini, kado terindah yang dapat dipetik selama Ramadan ini adalah hidup toleran. Sikap toleran yang telah ditunjukkan oleh kalangan nonmuslim kepada kalangan muslim selama bulan puasa ini dapat memberikan motivasi yang kuat agar kalangan muslim juga bersikap toleran terhadap kalangan muslim.
Setiap bulan puasa kita masih melihat aksi-aksi kekerasan yang dilakukan sebuah kelompok terhadap mereka yang melakukan asusila, bahkan pada bulan puasa tahun ini mereka melakukan pembakaran. Fakta tersebut sangat menyedihkan karena semangat toleransi yang tersurat dalam bulan puasa ini tercoreng karena ulah mereka yang memahami agama sebagai kontrol, bukan sebagai nasihat. Ketika agama dipahami sebagai kontrol, yang terjadi adalah ekspresi kekerasan. Sebaliknya, jika agama dipahami sebagai nasihat, akan menjadikan agama sebagai upaya untuk merajut persahabatan.
Padahal, nilai-nilai toleransi begitu kuat dalam pengalaman dan pengamalan puasa karena setiap muslim yang berpuasa dilarang untuk bertutur kasar dan peyoratif. Rasulullah SAW berpesan kepada setiap orang yang berpuasa agar tidak berkata-kata yang dapat menimbulkan ketidaktenangan, baik dalam konteks individu maupun kolektif.
Sumber: tempointeraktif com
0 komentar:
Posting Komentar