Titel editorial ini mewartakan kerisauan sikap kebangsaan kita. Sejauh itukah sikap Malaysia, dan sejauh inikah respons Indonesia? Kenekatan pengusikan harga diri kita sebagai nasion, berentetan memasuki wilayah kedaulatan, hak, hukum, dan sensitivitas relasi. Maka letupan pewacanaan asal-usul lagu kebangsaan Malaysia ”Negaraku” pun bisa dipahami sebagai counter yang bersifat defensif untuk mereaksinya. Banyak tudingan lagu itu menjiplak ”Terang Bulan” yang asli Indonesia pada 1950-an atau 1960-an.
Sebelum ini sempat muncul keisengan yang patut dianggap kelewat batas ketika ”Indonesia Raya” pun dilecehkan. Lirik lagu kebangsaan itu, lewat sebuah situs dalam topik forum, diotak-atik dengan kata-kata yang sangat merendahkan martabat. Dengan menggunakan bahasa kearifan, kita mungkin masih berharap forum itu bukan cermin pendapat bangsa Malaysia secara umum. Namun kita melihatnya dari sisi rentetan sikap yang lebih bermuatan kesengajaan, karena kemudian menyulut berlangsungnya ”perang” tanggapan.
Betapa banyak ”sikap” itu. Kasus-kasus penganiayaan tenaga kerja, klaim batik sebagai karya cipta mereka, reog, juga sejumlah lagu daerah, hingga tari pendet yang dimuat dalam iklan promosi Malaysia. Itu baru pada satu segi. Segi yang lebih mengusik adalah ”pancingan” untuk mempertaruhkan kedaulatan di blok Ambalat. Malaysia secara masif mengerahkan armada kapal perangnya untuk bermanuver di kawasan tersebut, dan sampai sejauh ini dengan tindakan-tindakan tersebut Malaysia seolah-olah mengklaim sebagai wilayahnya.
Mungkinkah kita terus bertahan dengan model pendekatan yang sekarang? Peredaman tiap kali muncul ketegangan dengan statemen-statemen diplomatis masih bisa ”menyelesaikan” masalah. Tetapi apakah mampu menghentikan kecenderungan yang laten, berupa perendahan di hadapan kemajuan-kemajuan sosial-ekonomi mereka? Apakah selamanya pemerintah hanya melayangkan protes dan ”mengingatkan” tanpa meningkatkan sikap diplomatik manakala Malaysia juga meningkatkan skala gangguannya?
Kita sering mencoba berjustifikasi, demikianlah cara negara yang sedang mencari jatidiri, keluar dari keinferioritasan lantaran kalah dari segi apa pun dalam cipta-karya seni-budaya. Namun sering pula kita melihat pencerahan di balik kekurangajaran tersebut, misalnya kekurangintensifan kita dalam pengamanan hak cipta atas suatu karya dan identitas nasional yang tumbuh di daerah-daerah. Juga, jangan-jangan Malaysia bersikap seberani itu karena telah mengalkulasi kekuatan militer dan peralatan perang mereka.
Semua itu tidak bisa dibiarkan berlarut. Apalagi dengan skala ”godaan” yang makin menjadi-jadi. Pemerintah perlu mengevaluasi langkah respons tiap sikap dan tindakan Malaysia sejauh ini. Jika sudah menyentuh simbol-simbol kebangsaan dan kedaulatan, apa boleh buat, kita tidak bisa terus bertahan bersikap lunak. Hubungan yang setara, saling membutuhkan, saling menghormati antardua negara serumpun ini, mesti ditegakkan dengan dasar etika relasi diplomatik, frame kedaulatan, dan batas-batas harga diri.
Sumber: suaramerdeka.com
0 komentar:
Posting Komentar