Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Bab XIII Pasal 31 (2) menyebutkan: Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Berdasar ayat ini jelas, kebutuhan biaya penyelenggaraan pendidikan disediakan oleh pemerintah.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut; ayat (4) menyebutkan: Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah.
Atas dasar itu, apa yang disampaikan Wakil Wali Kota Mahfudz Ali: ''Selain itu, sekolah tersebut wajib menggratiskan siswanya dari berbagai pungutan. Apabila melanggar, kepala sekolahnya dikenai sanksi tegas, dicopot dari posisinya. Pokoknya sekolah negeri tingkat SD-SMP wajib gratis dari segala pungutan.'' (SM, 3 April 2009), sesuai undang-undang.
Pertanyaan yang muncul, apakah kenyataannya nanti di lapangan benar-benar tidak ada pungutan? Kita tahu perkembangan zaman/teknologi menuntut dunia pendidikan perlu mengikuti agar anak didik tidak ketinggalan. Dan, itu membutuhkan biaya tidak sedikit.
Pimpinan SD-SMP negeri siap melaksanakan ketentuan gratis itu, tetapi masih ada ganjalan/unek-unek, seperti yang disampaikan Kepala SMP 7, Trilasmiati: ''Operasional sekolah yang membutuhkan biaya besar tidak bisa sekadar mengandalkan dana BOS dan BPP. Sekolah butuh upaya memaksimalkan pelayanan pendidikan yang diberikan kepada siswa.'' (SM, 4 April 2009).
Masyarakat menyambut gembira kebijakan pemerintah menggratiskan SD-SMP negeri. Itu patut kita syukuri. Di balik itu juga tidak heran kalau pihak sekolah mengeluh atas penggratisan tersebut, karena menganggap biaya tidak cukup.
Saya kira banyak warga masyarakat yang tidak tahu berapa besar dana dari pemerintah yang diterima masing-masing sekolah. Apakah hanya cukup untuk pengadaan alat tulis, alat-alat kebersihan, tambal sulam meja kursi yang rusak saja?
Seperti disampaikan Wakil Wali Kota Mahfudz Ali, bagi warga yang kaya dan peduli terhadap pendidikan, secara sukarela dipersilakan jika ingin menyumbang. Imbauan ini jangan digunakan sebagai tameng untuk menarik uang/sumbangan semaunya oleh sekolah. Sumbangan hendaklah benar-benar sukarela.
Selama ini sering terjadi yang namanya sukarela, kenyataannya ''sumbangan paksa''. Orang akan menyumbang diberi pengarahan, digiring... Ada batas minimum, bahkan terjadi tawar-menawar. Ini namanya kan tidak sukarela.
Kalau, misalnya, sekolah bermaksud membangun laboratorium Bahasa Inggris (butuh sumbangan) tidak perlu dipaksakan harus jadi sekarang jika dana belum cukup. Hendaklah bertahap sesuai sumbangan yang masuk.
Gubernur Bibit Waluyo menyatakan; ''Tak setuju segala program pendidikan gratis yang dicanangkan beberapa daerah. Jadi mereka (orang tua) tak boleh mengandalkan program gratis dari pemerintah.'' (SM, 24 Maret 2009). Apakah yang dimaksud Pak Gub masyarakat perlu menyumbang sukarela tersebut?
Sumber: http://www.suaramerdeka.com
0 komentar:
Posting Komentar