Kamis, 25 Juni 2009

Korupsi; Antara Virus Dan Budaya

Manusia secara hakekat adalah homo socius, sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan manusia lain dalam hidup dan berkehidupan. Guna membangun ikatan hubungan dengan manusia lain, manusia mengembangkan sistem kemasyarakatan yang mengikat secara konvensional manusia-manusia yang ada di dalamnya. Sederetan tata normatif lahir sebagai aksesoris pelengkap tata kemasyarakatan tersebut. Perkembangan lebih lanjut menunjukkan bahwa dalam suatu ikatan masyarakat berkembang gejala-gejala yang secara manusiawi dapat diklasifikasikan ke dalam oposisi biner, positif dan negatif. Gejala-gejala tersebut bersifat sosial, dalam pengertian lahir dan berkembang berdasarkan dorongan pribadi individu terkait dengan dorongan pribadi individu lain dalam masyarakat, sehingga gejala-gejala tersebut lebih afdhal jika disebut sebagai gejala sosial.


Korupsi adalah salah satu gejala sosial yang masuk dalam klasifikasi negatif, karena korupsi merupakan suatu aksi tindak dan perilaku sosial yang merugikan individu lain dalam masyarakat., menghilangkan kesepakatan bersama yang berdasar pada keadilan, serta membunuh karakter asasi kemanusiaan seorang individu itu sendiri. Korupsi dimaknai sebagai suatu perilaku individu yang tidak sesuai dengan norma-norma kemasyarakatan yang berlaku, seperti diposisikan sebagai lakuan tindak amoral, tidak memihak kepada kepentingan bersama, mengabaikan etika, dan melanggar aturan hukum, terlebih lagi aturan agama. Karena korupsi memberikan peluang lebih untuk menggunakan atau menyalahgunakan kekuasaan melalui proses yang tidak wajar (procedural) demi pribadi, keluarga atau kelompok.
Namun, dewasa ini korupsi telah menjadi sebuah virus sosial, yang tingkat penyebarannya sangat tinggi. Dalam ilmu kesehatan, daerah atau wilayah tubuh yang terserang suatu virus maka harus dilakukan tindakan pengkarantinaan sebagai tindakan pencegahan penyebaran. Yang memalukan adalah, hari ini, Indonesia telah memenuhi prasyarat untuk masuk kategori wilayah karantina. Karena di Indonesia, korupsi telah menjadi budaya yang tidak lagi dipandang sebagai pendhaliman namun telah menjadi kalaziman untuk dilakukan.
Korupsi; Virus Sosial
Penempatan korupsi sebagai budaya yang lazim dilakukan di Indonesia, maka kita perlu melihatnya dari perspektif perilaku sosial masyarakat, dan bukan sebagai perilaku pribadi semata. Korupsi kita pandang sebagai persoalan penyakit sosial masyarakat, watak masyarakat, perilaku masyarakat yang bertalian erat dengan paradigma yang berkembang di dalam masyarakat. Pada hakekatnya, masyarakat Indonesia memiliki tata peri kehidupan yang normal, yang berpijak pada nilai-nilai kultural. Dalam tata kultural Jawa, berkembang perspektif psikologis untuk menerima apa adanya dan jauh dari hasrat untuk memuaskan kepentingan pribadi dan mengabaikan kepentingan bersama seperti korupsi. Perspektif psikologis tersebut tercermin pada konsep nilai-nilai seperti rila (rela/ikhlas), nrima (menerima), eling (kesadaran/kearifan), satria pinandhita (tidak tergiur pangkat, derajad, dan keramat/kultus), sepi ing pamrih rame ing gawe (banyak melakukan aksian dan meminimalisasi kepentingan pribadi), dan rukun. Meminjam istilah Clifford Geertz dalam Suseno (1988) rukun disebut sebagai sebagai harmonius social appearances.
Ketika kapitalisme dikenal oleh masyarakat Indonesia, terjadilah pergeseran nilai-nilai yang luar biasa. Sebelumnya, keberhargaan atau penghormatan antar individu di dalam masyarakat lebih dipengaruhi oleh nilai-nilai moral dan keluhuran budi pekerti. Tetapi pasca masuk dan berkembangnya kapitalisme, nilai keberhargaan atau penghormatan antar individu lebih dipengaruhi oleh besaran kepemilikan material semata. Masyarakat tidak memberikan perhatian dari mana asal besaran kepemilikan materi, namun lebih memperhatikan konten dari besaran kepemilikan tersebut. Pada tahapan inilah virus korupsi menempati ruang dalam masyarakat kita. Ketika kapitalisme melahirkan tata mentalitas seperti ingin cepat kaya, ingin cepat sukses, dan berperilaku instant maka proses kerja yang matang menjadi terpinggirkan. Penghalalan segala cara menjadi sebuah pilihan, dan korupsi menggoda hati untuk segera dilakukan.
Dalam bukunya Social Theory and Social Structure (1957), Robert K. Merton menyatakan bahwa korupsi termotivasi oleh sikap yang berasal dari tekanan-tekanan sosial yang melahirkan pelanggaran-pelanggaran norma. Dalam budaya yang menitikberatkan keberhasilan ekonomi sebagai sebuah tujuan paling akhir seperti yang diterapkan oleh negara-negara penganut faham kapitalisme, maka negara tersebut akan memberi ruang yang lebih bagi mutasi virus korupsi. Ketika virus korupsi berkembang di lingkungan kekuasaan pemerintahan, mereka dapat bermutasi menjadi virus manipulasi, baik data informasi maupun opini. Sedangkan, ketika berkembang di lingkungan organisasi yang lebih kecil, virus korupsi dapat bermutasi menjadi virus kolusi dan nepotisme, kedekatan kekerabatan darah atau visi-misi menjadi habitat subur perkembangannya.
Merton menambahkan bahwa negara-negara yang kurang makmur (secara ekonomi) dengan motivasi pencapaian yang tinggi dan instan, adalah negara-negara korup. Bagaimana dengan Indonesia?
Di era Orde Baru, agregat perkembangan Indonesia dapat dikategorikan dalam kelompokan negara yang menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik secara instant. Secara luar biasa, ketika negara-negara seusianya di Asia (Malaysia, Thailand, Filiphina, Kamboja, Vietnam, Pakistan, India, dll) masih tertatih-tatih di segala lini kehidupan kenegaraan (politik, ekonomi, sosial, budaya, ataupun pertahanan keamanan) Indonesia telah mampu menampilkan diri sebagai Macan Asia. Mampu berdiri sejajar dengan Inggris, Perancis, ataupun Swiss, tetapi tatkala krisis moneter melanda Indonesia knock out karena tidak bangun-bangun lagi meski hitungan ke sepuluh tahun telah berlalu.
Dalam orde Reformasi ini, sekali lagi, analis-analis ekonomi dalam negeri maupun internasional memasukkan Indonesia dalam kelompok negara yang ingin cepat makmur secara instant. Meski tanpa program ekonomi yang jelas serta memiliki sumber daya manusia yang bersaing (secara IQ, EQ, dan SQ), Indonesia telah rajin menumpuk utang luar negeri, baik antar negara maupun dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF, World Bank, dan ADB. Mengakarnya budaya instant yang begitu kental tidak hanya tercermin dalam kebijakan-kebijakan ekonomi pemerintah semata, namun telah menyebar-luas ke berbagai lini kehidupan masyarakat seperti seni-budaya, ekonomi, pendidikan, informasi, komunikasi, maupun agama. Kecurangan dalam Ujian Nasional (UNAS), aksi suap-menyuap yang menjalar dalam lahirnya peraturan perundang-undangan atau tes masuk PNS, motivasi besar untuk “mendadak” jadi artis/selebritis, hingga pendewaan hasil survey dalam pemilu, dll, tidak lagi merupakan sasmita penyebaran budaya instant melainkan sudah menjadi fakta.
Ketika korupsi dan budaya instant kita identifikasi sebagai sebuah psikososial sistemik, kita pun dapat memahami sejauh mana korupsi yang hidup, tumbuh dan berkembang di Indonesia. Secara historis, kapitalisme dikenal bersamaan dengan masuknya kolonialis Belanda. Pemerintah kolonialis Belanda sebagai subjek (penjajah) menempatkan bangsa Indonesia sebagai objek. Posisi subjek dan objek ini memiliki jurang pemisah yang lebar, tetapi jurang tersebut dapat dijembatani dengan pasokan bulu bekti atau upeti (yang bersifat materialistis). Hal ini menjadi latar belakang lahirnya paradigma kapitalis bahwa keberhargaan individu ditentukan oleh besaran kepemilikan materi. Fenomena ini menjadi tak terbantahkan ketika dipertemukan dengan persoalan psikososial dalam fenomena psikodimanik nirsadar ala psikoanalis Sigmund Freud. Freud menyebut fenomena ini sebagai tranferensi atau transfer sosial, yang secara kontekstual, adalah pemindahan nirsadar pola-pola hubungan masa lalu bangsa dengan penjajah ke realitas hubungan masa kini antara penguasa dan rakyat.
Budaya menjilat atasan demi mendapatkan atau menyamankan posisi, budaya suap-menyuap pihak yang berwenang demi pencapaian tujuan, ataupun budaya menekan bawahan demi raihan kekuasaan merupakan cerminan transfer sosial hubungan antara terjajah (objek) dengan penjajah (subjek). Akhirnya, kaum penguasa atau kelompok elite yang menjadi subjek ketika menerima suap atau melakukan tindakan korupsi dianggap sebagai sebuah perilaku budaya (kewajaran). Menilik pada pola hubungan subjek-objek, lakuan tindak korupsi ini dianggap sebagai bentuk imbalan dari posisi atau status sosial yang tersemat di dadanya. Sosiolog Jared Diamond dalam bukunya “Gun, Germs and Stell: The Fates of Human Society” (1999) yang mengatakan kaum elite apakah yang terorganisir dalam unit politik yang disebut dengan negara atau dalam unit politik yang lebih kecil setingkat desa, selalu mentransfer kekayaan dari kelas sosial yang lebih rendah kepada kelas di atas.
Akibatnya, secara ekonomi, masyarakat yang berada dalam kelas yang lebih rendah menemui kesulitan untuk menemukan kenyamanan dalam hidup dan berkehidupan. Mereka juga berkehendak untuk mampu berada di kelas atas, namun secara instant. Ironis memang.
Pendidikan Karakter; Solusi
Sungguh naïf ketika pemberantasan korupsi dipercayakan kepada non-governmental organization seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terlebih ketika melihat sosok pemimpinnya, yang hari ini dipaksa untuk terlibat cinta segi tiga. Ibarat korupsi adalah virus menular yang menyerang dengan ganas maka KPK adalah obat luka yang single fighter terseok-seok dan dikhawatirkan untuk segera kehilangan kredibilitasnya. Mengapa?
Hingga hari ini, kasus korupsi di tubuh Bank Indonesia yang diusutnya belum juga menemukan titik akhir, karena melibatkan Aulia Pohan yang notabene adalah besan presiden. Apalagi, sang pemimpinnya yaitu Budiono, hari ini berhajad besar yaitu maju dalam bursa Pilpres 2009.
Adalah kenaifan yang luar biasa ketika pemberantasan korupsi hanya sebatas menyeret pelakunya ke dalam penjara, karena gerakan ini sama sekali tidak menyentuh substansi virus korupsi. Virus korupsi akan dengan mudah bermutasi dan menulari individu lainnya, toh gerakan “anti korupsi” lebih nampak sebagai gerakan “antri korupsi”. Ketika berdiri di luar wilayah kekuasaan, gempita sorainya menuntut dan meluruskan penggunaan anggaran mampu menembus dinding. Tetapi, tatkala telah berada di dalam wilayah kekuasaan, mereka juga melakukan pelanggaran yang sama.
Solusi yang dibutuhkan adalah konstruksi pendidikan yang memberikan landasan moral, etika dan spiritual sosial kolektif kebangsaan. Pendidikan harus diarahkan untuk membuka wawasan kehidupan, cakrawala batin agar bangsa ini tidak terbelit otomatisme ketidaksadarannya terhadap pola-pola hubungan koruptif yang telah berakar dan terbentuk dari sejarah masa lalu. Pendidikan lebih difokuskan kepada pendidikan karakter, pendidikan mental mentalitas yang sehat. Harapannya, di masa yang akan datang lahirlah bangsa dan masyarakat dengan mental dan watak yang memahami nilai-nilai kebersamaan, kebangsaan, kebenaran, kejujuran, kesucian hati maupun jiwa.

Di tangan merekalah, Indonesia ini kelak kita titipkan.

Oleh : Anjrah Lelono Broto, Litbang LBTI Tinggal Di Jombang

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites